Alasan MK tolak kenaikan usia minimum pernikahan

Mulai dari mencegah zina hingga hak asasi manusia.

Adelia Putri
Published 2:49 PM, June 19, 2015
Updated 2:49 PM, Jun 19, 2015

Pemohon dan pihak terkait setelah persidangan MK. Foto oleh: Adelia Putri/Rappler

Pemohon dan pihak terkait setelah persidangan MK. Foto oleh: Adelia Putri/Rappler

JAKARTA, Indonesia — Mahkamah Konstitusi (MK) menolak meningkatkan usia minimum pernikahan perempuan dengan berbagai pertimbangan, Kamis, 18 Juni 2015. Ini dia alasan-alasannya.

Dari risalah sidang yang dikeluarkan MK, kami menghimpun poin penting dari pertimbangan mahkamah sebelum memutuskan untuk menolak uji materi atas Undang-Undang no. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 7 ayat 1 dan 2.

1. Perkawinan adalah hak setiap orang yang tidak boleh dibatasi

“Bahwa perkawinan adalah hak setiap orang yang harus dijamin dan dilindungi oleh negara karena perkawinan merupakan hak yang bersifat asasi dan naluriah kemanusiaan yang melekat pada diri setiap orang dan sesuatu yang kodrati.

Secara hukum alam, perkawinan adalah kebutuhan yang tidak dapat dihalangi oleh siapapun selama perkawinan tersebut dilaksanakan menurut kaedah agama dan hukum negara yang berlaku.”

2. Negara hanya mengakomodasi perintah agama

“Semua agama yang berlaku di Indonesia memiliki aturan masing-masing dalam perkawinan dan hukum agama tersebut mengikat semua pemeluknya, sedangkan negara memberikan pelayanan dalam pelaksanaan perkawinan dengan aturan negara termasuk pencatatan secara administrasi guna kepastian hukum bagi pasangan suami-istri maupun keturunannya.

Salah satu contohnya, agama Islam tidaklah mengatur mengenai usia minimum perkawinan akan tetapi yang lazim adalah dikenal sudah aqil baligh, berakal sehat, mampu membedakan yang baik dan yang buruk, sehingga dapat memberikan persetujuannya.”

3. Tidak ada jaminan bahwa perubahan batas usia akan berdampak positif

“Tidak ada jaminan yang dapat memastikan bahwa dengan ditingkatkannya batas usia kawin untuk wanita dari 16 (enam belas) tahun menjadi 18 (delapan belas) tahun, akan semakin mengurangi angka perceraian, menanggulangi permasalahan kesehatan, maupun meminimalisir permasalahan sosial lainnya.”

4. Lebih baik legislative review

MK kemudian menyarankan pemohon untuk melakukan legislative review ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) daripada melakukan judicial review. Saran ini baru diberikan 9 bulan sejak kasus pertama kali disidangkan di MK.

MK berdalih bahwa judicial review akan mengikat hasil secara permanen, sehingga bila diperlukan perubahan lagi di masa depan, akan sulit dilakukan.

“Jika Mahkamah diminta untuk menetapkan batas usia minimal tertentu sebagai batas usia minimal yang konstitusional, Mahkamah justru membatasi adanya upaya perubahan kebijakan oleh negara untuk menentukan yang terbaik bagi warga negaranya sesuai dengan perkembangan peradaban dari setiap masa atau generasi, yang dalam hal ini terkait dengan kebijakan menentukan batas usia minimal kawin.

Tidak tertutup kemungkinan bahwa pada saatnya nanti, dengan mendasarkan pada perkembangan teknologi, kesehatan, sosial, budaya, dan ekonomi, serta aspek lainnya, usia 18 (delapan belas) tahun bukan lagi sebagai batas usia minimum yang ideal bagi wanita untuk menikah, namun bisa saja dianggap yang lebih rendah atau lebih tinggi dari 18 (delapan belas) tahun tersebut sebagai usia yang ideal.”

5. Mencegah kemudharatan

MK berdalih bahwa pernikahan dini dapat mencegah zina di kalangan anak muda. Selain itu, pernikahan dapat mencegah lahirnya anak di luar nikah.

“Dari asas perkawinan tersebut tidaklah dikenal umur minimal demi untuk mencegah kemudharatan yang lebih besar, apalagi perkembangan dewasa ini, bagi manusia pada zaman sekarang, di mana kemungkinan kemudharatan tersebut jauh lebih cepat merebak karena dipengaruhi oleh berbagai macam keadaan seperti makanan, lingkungan, pergaulan, teknologi, keterbukaan informasi, dan lain sebagainya, sehingga mempercepat laju dorongan birahi.

Dorongan birahi itu semestinya dapat disalurkan melalui perkawinan yang sah sebagaimana ajaran agama sehingga tidak melahirkan anak di luar perkawinan atau anak haram atau anak ranjang.”

Pertimbangan dari pihak terkait yang mendukung pertimbangan Mahkamah

Sebelum mahkamah mengeluarkan putusan, telah diadakan beberapa kali sidang untuk mendengar pendapat dari saksi ahli pihak terkait. Pihak pemohon telah datang dengan berbagai macam data dan argumentasi yang mendukung permintaan mereka. Namun, ada pula pihak-pihak yang datang dengan bantahan-bantahan.

1. Perwakilan Presiden dan DPR: Peraturan yang ada telah memadai

Batasan umur dianggap telah mengakomodasi keadaan di masyarakat. Selain itu, UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan juga telah menyaratkan adanya persetujuan kedua belah pihak dan izin dari keluarga bagi yang belum berusia 21 tahun. Ada pula pasal yang mengatur tentang pencegahan pernikahan bila persyaratan di atas tak dipenuhi. Jadi, harusnya UU ini sudah cukup memadai.

2. Perwakilan Presiden: Batasan umur boleh berbeda

Pemohon mempermasalahkan batasan usia dewasa yang berbeda-beda di undang-undang yang berbeda. Misalnya, UU Perlindungan Anak menyebutkan anak adalah orang yang berumur di bawah 18 tahun, sementara KUHAP membatasi hingga ke umur 21 tahun. Ketidakpastian hukum ini dijadikan alasan mengapa MK harus memberikan batasan baru yang sesuai dengan UU lain.

Perwakilan dari presiden berkata sebaliknya.

“Menurut pemerintah bahwa batasan umur sebagai batasan pengertian dari sebuah undang-undang dapat saja berbeda menurut ketentuan Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yaitu tentang mengenai rumusan batasan pengertian dari suatu peraturan perundang-undangan dapat saja berbeda dengan rumusan peraturan perundang-undangan yang lain karena disesuaikan dengan kebutuhan yang terkait dengan materi muatan yang akan diatur, sebagaimana bisa dilihat di dalam butir 104 lampiran ketentuan umum.”

Kalaupun memang perlu disamakan, pemerintah menyarankan prosedur legislative review.

3. Majelis Ulama Indonesia: 16 tahun sudah cukup dewasa

Bagi Majelis Ulama Indonesia (MUI), penetapan usia perkawinan dalam UU Perkawinan telah sesuai dengan nilai-nilai agama, terutama mengenai status akil baligh seseorang.

Dalam keterangannya, MUI berdalih bahwa sesuai hukum agama, tidak ditentukan sampai pada batas minimal berapa seorang diizinkan melakukan perkawinan termasuk Islam. Selain itu, yang dimaksud akil baligh adalah perempuan berumur 9 tahun dan menstruasi; anak laki-laki berumur 9 tahun dan pernah mimpi basah; atau anak yang sudah mencapai umur 15 tahun tanpa syarat. Karena itu, umur 16 tahun sudah termasuk baligh.

4. MUI: Pernikahan dini tidak menghilangkan kesempatan pendidikan perempuan

Bagi MUI, tidak ada angka pasti yang dapat membuktikan bahwa perempuan menjadi terbatas akses pendidikannya karena menikah di usia 16 tahun. MUI mengangkat program pendidikan formal dan wajib belajar pemerintah yang bisa mengakomodasi mereka. Selain itu, masih ada paket belajar A-B-C serta home-schooling bagi yang tidak bisa kembali ke sekolah formal.

5. MUI: Tidak ada bukti menaikkan usia dari 16 ke 18 bisa mencegah resiko kesehatan

Menurut MUI, pemohon tidak menyediakan bukti yang cukup mendukung.

“Para pemohon sama sekali tidak bisa membuktikan hubungan kausalitas antara usia 16 tahun anak perempuan menikah dengan perlindungan hak hidup dan kelangsungan hidup anak.”

—Rappler.com