Tak Kunjung Ahli Mengurus Haji

Senin, 24 Agustus 2015
SALAH satu tugas utama negara ialah melayani warga negara sebaik-baiknya. Itulah sebabnya pegawai negara atau pegawai negeri dalam bahasa Inggris disebut civil servant, pelayan masyarakat. Di Indonesia, sebutan pegawai negara ialah pegawai negeri sipil atau PNS. Bila frasa civil servant atau pelayan masyarakat mengandung makna fungsi, frasa pegawai negeri sipil menyandang makna status.

PNS ialah priayi yang lebih kerap minta dihormati, ingin dilayani, ketimbang melayani. Tidak mengherankan bila masyarakat terlalu acap merasakan buruknya pelayanan birokrasi kita. Paling mutakhir ialah buruknya pelayanan haji oleh Kementerian Agama. Banyak calon jemaah haji yang keberangkatan mereka tertunda gara-gara belum mendapatkan visa.

Kita semua tahu visa ialah syarat seseorang memasuki negara lain. Tidak ada kompromi mengenai visa bila ingin memasuki negara lain, kecuali ada aturan bebas visa. Jangan-jangan Kementerian Agama menganggap enteng urusan visa haji. Anehnya, Kementerian Agama menunjuk Arab Saudi yang menerapkan visa elektronik sebagai penyebabnya.

Aneh karena Arab Saudi sudah menyampaikan informasi ihwal perubahan sistem pembuatan visa sejak tahun lalu. Sungguh sebuah keteledoran yang tidak bisa ditoleransi. Betul bahwa yang tertunda keberangkatannya hanya sebagian kecil. Namun, dalam konteks pelayanan, satu orang sekalipun tak boleh tertunda keberangkatannya karena masalah visa semestinya bisa diantisipasi sejak tahun lalu.

Betul pula bahwa Kementerian Agama menjamin mereka pasti berangkat. Akan tetapi, keterlambatan satu hari pun pasti membuat psikologi para jemaah tidak nyaman dan kekhusyukan ibadah mereka terganggu. Kasus visa dalam musim haji tahun ini menambah panjang daftar pelayanan buruk Kementerian Agama mengurus para tamu Allah itu.

Pelayanan haji di negeri ini seperti tak putus dirundung perkara. Persoalan datang silih berganti. Kita seperti tak kunjung becus mengurus haji. Kita tentu masih ingat kasus jemaah haji kelaparan pada musim haji beberapa tahun silam. Belum lagi kasus minimnya fasilitas di pondokan jemaah haji Indonesia di Arab Saudi. Bila ditambah kasus gagal berangkat banyak calon jemaah haji plus, persoalan pelayanan haji kita seperti tiada ujung penyelesaian.

Di negara-negara maju, masyarakat akan menggugat instansi yang buruk pelayanannya. Namun, di sini, apalagi dalam urusan haji, pelayanan buruk dianggap sebagai ujian dalam beribadah. Padahal, kita semestinya membedakan antara haji sebagai ibadah yang bersifat sakral dan pelayanan negara yang bersifat profan.

Pun di negara-negara maju yang menjadikan pelayanan sebagai fungsi mahapenting sebuah pemerintahan, pelayanan buruk bisa memaksa pejabat bertanggung jawab mundur dari posisinya tanpa menunggu gugatan masyarakat. Namun, kita selalu beralasan mundur karena melakukan kesalahan bukanlah kultur kita.

Kita mungkin masih harus menunggu lama mundur dari jabatan karena berbuat kesalahan menjadi kultur pemerintahan kita. Kita cuma menunggu pemerintahan ini menyempurnakan pelayanannya. Mesti ada perubahan paradigma berpikir di kalangan birokrat kita bahwa fungsi utama sebuah pemerintahan atau birokrasi ialah melayani masyarakat sebaik-baiknya.

Boleh juga kita wacanakan perubahan nomenklatur Kementerian Agama menjadi kementerian urusan haji. Jemaah haji Indonesia yang merupakan rombongan terbesar di dunia dan jumlahnya terus bertambah membutuhkan pelayanan prima. Kementerian urusan haji akan fokus hanya mengurus dan melayani jemaah haji Indonesia.



 

MORE
+ SEE ALL