kasurau – Jumat (09/11) sore, ketika tengah packing barang, tiba-tiba telepon genggam saya berbunyi. Ada panggilan masuk dari seseorang. Di layar telepon genggam tidak ada nama si pemanggil. Hanya nomor lengkap yang tertera. Atu artinya, nomor tersebut tidak tersimpan di kartu maupun telepon genggam saya, atau dengan kata lain nomor tak dikenal. Biasanya saya paling malas menjawab panggilan dari nomor tak dikenal, kecuali setelah orang tersebut mengirimkan pesan singkat dan memperkenalkan diri. Istri saya sering mengingatkan agar menjawab saja panggilan dari nomor yang tidak tersimpan di telepon genggam.
Asumsinya, bisa jadi panggilan datang dari seseorang yang sebenarnya saya kenal, namun karena sesuatu dan lain hal, seperti kehabisan pulsa, atau kartu lamanya rusak/ hilang, yang bersangkutan lantas menelpon dengan meminjam telepon genggam orang lain/ membeli kartu baru. Alasan kedua, mungkin saja panggilan datang dari orang yang kenal dengan saya, tetapi saya tidak mengenal orang tersebut. Dicari tahunya nomor handphone saya dari orang lain lalu menelpon saya untuk suatu keperluan. Alasan ketiga, tidak tertutup kemungkinan panggilan datang dari orang yang tidak kenal dengan saya, tetapi karena sesuatu yang sangat penting untuk disampaikan/ ada kabar mendadak, orang tersebut berusaha menelpon saya dengan mencari nomor handphone yang kebetulan tersimpan di handphone orang lain.
Sore itu entah kenapa saya langsung menjawab panggilan telepon tersebut. Saya tanya dari siapa dan ada keperluan apa? Dari suara dan nada bicara di seberang panggilan, asumsi kedua bisa menjadi alasannya. Dengan agak terbata-bata, mungkin agak merendah menanyakan apakah saya bisa menjadi pemateri pelatihan jurnalistik yang diadakan di kampus Universitas Andalas, Padang. Lalu saya menanyakan nama orang tersebut. Lantas disebutkanlah namanya (saya lupa nama orang tersebut). Hanya yang saya ingat, bahwa orang tersebut panitia pelatihan jurnalistik yang diadakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LP2I) Forum Studi Islam (FSI) Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (F-MIPA). Bisa disebut LP2I ini adalah wadah pengembangan jurnalistik F-MIPA.
Setelah memperkenalkan diri, dijelaskanlah kenapa beliau meminta saya menjadi pemateri. Pemateri utamanya tidak bisa dihubungi. Seniornya memberikan nomor saya kepada beliau untuk menghubungi dan menanyakan kesediaan saya menggantikan pemateri utama yang tanpa kabar berita tersebut. Saya tanya lagi, siapa nama seniornya. Ia menyebutkan nama seseorang, angkatan 2009 F-MIPA Unand. Tetapi saya kok belum pernah mendengar nama itu sebelumnya? Atau memang saya yang kurang pergaulan/ kuper? Karena sore itu saya di luar Kota Padang dan berencana untuk berangkat ke luar kota, dengan agak berat hati saya katakan bahwa pekan ini saya tidak bisa karena lagi di luar kota. Saya tawarkan kepadanya, apabila belum ada pemateri, saya berikan nomor handphone seseorang yang menurut penilaian saya sangat mengerti dan paham tentang dunia kepenulisan, berikut dengan nama lengkapnya. Senior saya di salah satu perkumpulan menulis yang sangat terkenal di Sumatera Barat, nasional bahkan mancanegara. Di akhir pesan singkat saya kepada panitia tersebut, saya sampaikan permohonan maaf dan semoga acaranya berjalan dengan lancar.
Di satu sisi saya sudah ada jadwal yang sudah direncanakan di akhir pekan tersebut. Di sisi lain saya sebenarnya juga ingin berbagi pengalaman dan ide tentang jurnalistik. Dunia yang sangat menarik perhatian saya sejak dulu. Sejak SMA saya mulai belajar menulis tentang apa saja. Bisa puisi, cerpen yang kadang dengan ide seadanya tanpa ending yang memikat perhatian, hingga belajar menulis opini/ pendapat. Proses pembelajaran tersebut dilakukan dengan otodidak, dengan membaca dan mempelajari cara seorang penulis yang namanya sering menghiasi majalah/ surat kabar/ tabloid. Ketika selesai membaca tulisan seseorang, kemudian saya ikuti gaya tulisannya. Begitulah hari demi hari membuat saya selalu mengasah minat untuk menulis. Sayangnya, saya belum percaya diri untuk mengirim tulisan tersebut ke surat kabar/ majalah. Hanya terhenti menjadi catatan di buku harian.
Ketika jalan hidup memberikan kesempatan untuk terus belajar menulis dengan bergabung di pers mahasiswa di Forum Studi Islam fakultas hingga sempat berkecimpung langsung sebagai wartawan di sebuah media online ternama di Sumbar, bukan main gembiranya hati saya. Materi bukan tujuan utama waktu itu. Ketika suatu karya tulis, entah itu berita atau opini dimuat di media massa, perasaan sangat senang sekali. Saya baca tulisan tersebut berulang kali. Seakan tidak percaya beberapa opini selanjutnya juga dimuat di surat kabar terbitan Padang.
Begitulah ketika panggilan dari seorang panitia pelatihan jurnalistik LP2I F-MIPA Unand mampir ke handphone saya. Ingatan saya tiba-tiba kembali lagi menelusuri dunia intelektual kampus. Kaum intelektual harus membiasakan dan menyibukkan diri dalam tiga hal yang saling terkait dan tidak bisa dilepaskan; Membaca, Menulis, Berdiskusi. Untuk bisa mengerti dan memahami suatu hal/ persoalan, kita harus membaca. Islam pun ketika Nabi Muhammad SAW mendapat wahyu pertama dari Malaikat Jibril di Gua Hira’ juga diserukan untuk iqra’. Bacalah.!!! Apa yang hendak dibaca? Segala sesuatu ciptaan Allah, di langit dan di bumi. Membaca dengan kesadaran bahwa tidak ada kekuatan apapun selain kekuatan-Nya dan terjadi dengan izin-Nya. Sayangnya, budaya membaca kian rapuh di sebahagian kalangan intelektual. Gaya hedonis kian merasuki generasi muda. Tidak heran jika kemudian penyair Taufiq Ismail pernah menyindir kita, anak-anak bangsa, calon-calon intelektual dengan sebutan “generasi rabun membaca dan lumpuh menulis”.
Dari membaca kita akan menemukan banyak kosakata untuk dituliskan dalam sebuah catatan. Ada keluhan yang sering kita dengar, menulis itu sulit. Bahkan ketika kita sudah memegang pena dan secarik kertas, lalu bingung dengan apa yang hendak dituliskan. Atau di zaman sekarang, setelah menghidupkan komputer/ laptop dan jari-jemari sudah siap mengetik huruf demi huruf , tiba-tiba saja tidak tahu bagaimana cara menulis. Apa kata pertama yang harus dituliskan? Ada kekakuan menyelimuti. Ada semacam beban berat yang seolah kita pikul untuk memulai menulis. Kita tentu pernah mengalaminya, bukan?
Lantas, bagaimana kita bisa mulai menulis? Menyusun kata demi kata hingga terangkai menjadi kalimat yang bermakna? Saya teringat sebuah lelucon Pimpinan Redaksi Harian Singgalang, Khairul Jasmi. Anda pernah jatuh cinta kepada seseorang? Ketika anda menganggap seseorang yang anda cintai tersebut sebagai kekasih, bagaimana anda memulai mencintainya? Ada rasa deg-degan. Jantung terasa mau copot. Hendak mengungkapkan perasaan saja sulitnya minta ampun. Ketika anda menikah tanpa didahului dengan pacaran sebelum nikah, setelah akad nikah berlangsung, bagaimana perasaan anda ketika pertama kali menyentuh tangan sang kekasih? Berjuta rasanya? Silahkan dicoba bagi yang sudah akad nikah, hehehe….
Seperti itu pula dengan menulis. Goresan tinta pertama sulit sekali. Setelah itu, hanya sesekali saja sulitnya. Bukankah pisau jika selalu diasah akan semakin tajam? Demikian pula halnya dengan menulis. Ia akan semakin mudah dilakukan ketika selalu latihan dan latihan. Misalnya, anda bisa membeli satu buku diary dan mulailah menuliskan hal-hal apa saja yang anda lalui/ alami setiap hari. Hari-hari pertam mungkin saja agak terbata-bata menuliskannya. Itu hal yang wajar. Namun, saya yakin ketika semakin anda selalu menuliskannya, akan semakin lancarlah anda menulis peristiwa yang dilalui. Hingga tanpa terasa diary tersebut penuh dengan catatan harian.
Untuk memperkuat daya tulisan anda, tidak ada salahnya ikut dalam kelompok menulis. Di kampus-kampus, hampir setiap fakultas sudah memiliki kelompok studi menulis tersebut. Seperti LP2I di F-MIPA, divisi Pers Forum Studi Islam fakultas/ universitas, unit kegiatan mahasiswa di bidang pers dan jurnalistik. Ada pula banyak organisasi kepenulisan di luar kampus, seperti Forum Lingkar Pena (FLP), Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia, dan lain-lain. Di dunia yang serba mudah sekarang ini, mencari wadah untuk mengasah kepenulisan tidaklah sulit. Dengan menjadi anggota organisasi kepenulisan tersebut, anda akan dilatih untuk menulis sekaligus berdiskusi tentang karya tulis anda.
Sekarang tinggal lagi kemauan dalam mengimplementasikan tiga hal yang menjadi ciri khas kaum intelektual; Membaca, Menulis, Berdiskusi. Setiap tahun, selalu saja unit kegiatan mahasiswa mengadakan pelatihan jurnalistik/ pelatihan kepenulisan. Namun, satu hal yang kadang kurang disadari, berapa banyak dari peserta yang telah mengikuti pelatihan jurnalistik/ pelatihan kepenulisan tersebut mampu untuk menulis? Idealnya, tentu pasca diadakannya kegiatan kepenulisan tersebut akan semakin banyak penulis-penulis muda yang bermunculan. Suasana ideal tersebut jarang tercapai, oleh karena kita belum memaksakan diri untuk belajar menulis.
Setiap mahasiswa, yang mengakui dirinya sebagai kaum intelektual, agent of change, harus membiasakan diri menulis. Bukankah di akhir setiap mata kuliah, saat ini hampir semua dosen di berbagai jurusan yang mewajibkan mahasiswanya untuk membuat makalah/ paper? Di akhir studi mahasiswa juga dituntut untuk bisa menghasilkan karya tulis ilmiah dalam bentuk skripsi? Geliat menulis kaum intelektual harus selalu ditumbuhkan. Sehingga generasi mendatang tidak lagi “rabun membaca dan lumpuh menulis”.
Oleh : M. Luthfi Munzir
Alumni FISIP Universitas Andalas Padang, dan Penulis Lepas