kasurau – Indonesia kaya dengan budaya daerah dan tradisinya. Demikian pula budaya yang berkembang di kalangan ikhwah antara daerah satu dengan daerah lain tentu berbeda. Dan kita harus berpegang pada manhaj dakwah dalam memandang perbedaan karakter budaya ikhwah di masing-masing daerah. Ada yang modelnya ‘keras’, lembut, ewuh pakewuh, atau keterusterangan. Kita mengenal sosok Abu Bakar As Siddiq yang lembut dan Umar bin Khattab yang ‘keras’. Ketika kita memegang manhaj dakwah diantara perbedaan-perbedaan karakter tersebut, muncullah kesamaan dari setiap ikhwah tersebut, yaitu mereka sama-sama mempunyai Quwwatur-ruh dan Quwwatul qalb. Dengan kekuatan ini, kuat pula segala hal lain yang mereka miliki. Dan dua kekuatan tersebut harus dijaga oleh setiap individu dalam jama’ah, apapun karakter kita.
Benar apa yang diungkapkan oleh Bisyr Al Khothib yang dikutip oleh Syekh Ahmad Rasyid dalam kitabnya, katanya: “Cukuplah bagimu, engkau melihat orang-orang yang telah mati yang ketika sejarah hidupnya dipelajari hati menjadi hidup, sebagaimana ada pula manusia-manusia yang hidup diantara kita yang dengan melihatnya hati kita menjadi mati”.
Apabila seorang da’i tidak mempunyai petunjuk-petunjuk ruhiyah yang menyeluruh, maka hidupnya akan kosong dari kesan dan pengaruh. Ia akan jatuh dan sarang ujub, nifaq dan riya’. Ia akan terjerumus dalam lumpur ghurur, ananiyah (egoisme) dan sombong. Ia berjalan ke arah dakwah karena didorong kepentingan pribadi bukan karena Allah. Ia membangun kejayaan hanya untuk sendiri bukan untuk Islam, dan beramal hanya untuk dunianya bukan untuk akhiratnya. Sesungguhnya Alquran Al Karim dalam tinjauannya yang syamil terhadap alam raya, kehidupan, dan insan telah menjelaskan kepada kita manhaj amaly dalam proses penyiapan ruh insan, pembentukan keimanannya dan tarbiyah kejiwaannya.
“Hai orang-orang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, kami akan memberikan kepadamu Furqaan. dan kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (Al Anfal ayat 29)
“Hai orang-orang yang beriman (kepada para rasul), bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan dia mengampuni kamu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al Hadid ayat 28)
“……….barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah Telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (Ath Tholaq ayat 2 dan 3)
Dari perbincangan dengan teman-teman di forum pekanan, ternyata kami merindukan suasana tarbiyah di masa lalu. Silaturrahim yang intens, berpelukan hangat, saling mengenal secara mendalam ikhwah lain, dan masih banyak kerinduan yang saat ini sudah mulai renggang. “Tidak boleh!” kata seorang teman saya, “Kita tidak boleh terpukau dengan masa lalu. Masa sekarang adalah masa sekarang. Dakwah kita adalah dakwah yang progresif, bukan dakwah yang statis. Silakan saja membawa nuansa ukhuwah masa lalu untuk masa sekarang, tapi kita jangan berangan-angan pada masa lalu dan menyalahkan masa sekarang”. Demikian pula keluhan seorang ikhwah yang baru datang ke kota ini. Dia merasa aneh dengan ikhwah di sini, beda dengan ikhwah di daerah asalnya. Dalam sebuah acara, dia bersalaman dengan beberapa ikhwah yang baru dikenalnya. Sambutannya dingin. Dia merasa asing di tengah ‘keluarga’ sendiri. Ada pula kisah seorang simpatisan yang merasa dicuekin dengan orang-orang saat beliau mengunjungi markas dakwah.
Kami memang merindukan bulir-bulir cinta itu mengalir indah melalui perkataan dan tangan para ikhwah. Tidak membedakan satu golongan dengan golongan lain. Tidak membedakan status sosial maupun mustawa’ dakwah. Senyuman indah para ikhwah adalah modal mempererat ukhuwwah dan dakwah ummat. Sesungguhnya kita tidak memerlukan uang yang melimpah untuk mempengaruhi seseorang agar mengikuti kehendak kita saat dibalik bilik suara. Bukan itu yang kita perlukan untuk merubah ummat.
Imam Hasan Al Banna menggunakan waktu beberapa menit saja untuk berdakwah di kedai-kedai kopi. Orang-orang di sana adalah kalangan dengan kapasitas ilmu agama yang biasa-biasa saja, bahkan kurang paham dengan agama. Tapi pengaruhnya luar biasa. Banyak di kalangan mereka yang mengikuti gerbong dakwah ini. Termasuk kiprah dakwah beliau yang mampu menarik hati seorang Ulama Besar Al Azhar, yaitu Syaikh Thanthawi Jauhari. Ketika beliau bergabung dengan Ikhwanul Muslimin, teman-teman seangkatan beliau meledeknya dengan mengatakan: “Anda seorang ulama besar dan seorang syekh, mengapa anda mau menjadi kelompok yang dipimpin seorang anak muda dan anda hanya menjadi seorang pemimpin redaksi? Dijawab oleh Thanthawi: “Seandainya anda mengetahui siapa Al Banna, anda akan lebih dahulu bergabung daripada saya, sayang anda tidak mengetahuinya”.
Dalam sebuah surat kabar mingguan, Sayyid Qutub (sebelum bergabung dengan IM) menulis makalah di mana dia menyerukan kepada para wanita muslimah untuk membuka auratnya, karena menutup aurat dianggap olehnya sebagai penghambat kemajuan wanita.Tulisan ini dibaca oleh Ustadz Abdul Halim Mahmud dan beliau membuat tanggapan. Tapi sebelum tanggapan ini dimuat di media massa, Ustadz Abdul Halim mendiskusikannya terlebih dahulu dengan Imam Al Banna. Kata Imam Al Banna: “Saya menyetujui 100 % tulisan kamu, tapi saya memiliki perasaan lain tentang orang ini, berilah beberapa pertimbangan: Pertama: Dia masih muda, dan apa yang ditulisnya bukanlah dari otaknya sendiri, tapi dari lingkungannya. Kedua: Anak muda biasanya menyenangi sensasi dan mencari musuh, apa yang dilakukan Sayyid Qutub oleh Imam Al Banna dinilai sebagai upaya mencari eksistensi diri. Ketiga: karena dia masih muda, kita masih memiliki harapan, siapa tahu dia akan menjadi pemikul beban da’wah. Pertimbangan yang lain, kata Imam Al Banna, dia (Sayyid) menulis di surat kabar yang tidak terlalu terkenal di Mesir ini. Kalaupun dikenal, makalah atau kolom, umumnya tidak terlalu menarik perhatian orang banyak untuk membacanya, apalagi kalau ditulis oleh seorang pemula yang belum memiliki nama. Kalau kita menanggapinya, orang-orang yang semula tidak tahu menjadi ingin mengetahuinya, dan orang-orang yang mungkin pernah membaca secara selintas akan mengulang kembali membacanya untuk mengenali muatan tulisan tersebut. Tujuan anak muda ini menulis adalah untuk mendapatkan serangan atau tantangan dari khayalak yang dengan serangan itu akan menaikkan dan mengangkat namanya. Imam Al Banna berkata lagi: “Kalau kita bantah tulisan itu, kita berarti menutup kesempatan diri pemuda itu untuk bertobat karena orang cenderung untuk membela diri jika kesalahannya diluruskan, apalagi bila pelurusan itu dilakukan di depan umum, ia akan membela dirinya mati-matian, meskipun dalam hati kecilnya ia menyadari kesalahan atau kekeliruannya. Dengan demikian, kalau tanggapan itu kita lakukan, berarti kita telah menutup kesempatan bertaubat bagi dirinya”. Akhirnya Imam Al Banna mengatakan: “Wahai Mahmud, inilah pandanganku tentang orang ini, akan tetapi, kalau engkau tetap ingin mengirimkannya, silahkan saja”. Ustadz Mahmud setuju untuk meninjau kembali rencana pengiriman tulisan itu, sehingga akhirnya tulisan itu tidak jadi dikirim. Dan pada akhirnya, terbuktilah kebenaran perasaan Imam Al Banna, sebab pada akhir perjalanan hidupnya, Sayyid Qutub menjadi penopang dan pemikul beban da’wah dan iapun bergabung dengan jama’ah ini.
Ketajaman intuisi Syaikh Hasan Al Banna dalam menganalisa perkembangan dakwah tak lepas dari Quwwatur-ruh dan Quwwatul qalb yang beliau miliki. Tentu saja semua ini merupakan karunia Allah.
Ruhiyah yang kita jaga dan hati yang kita jaga pula kebersihannya adalah tugas masing-masing individu. Dan masing-masing individu itu InsyaAllah akan mengantarkan keberkahan bagi dakwah.
Semoga Allah swt memberi pertolongan kepada kita semua.
Wallahu a’lam bisshawwab