Ketotolan dan Kecerdikan - Serambi Minang
Beranda / Uncategorized / Ketotolan dan Kecerdikan

Ketotolan dan Kecerdikan

KASURAU – Bersedih bahkan menangis merupakan akhlak yang mulia bila sesuai dengan moment dan tempatnya dalam kadar yang sewajarnya. Itu menunjukkan kelembutan hati dan kehalusan jiwa. Jauh dari sifat kasar dan keras. Bahkan ia merupakan indikasi kesetiaan dan pengagungan kepada orang-orang mulia. Serta salah satu sarana taqarrub orang-orang shaleh kepada Allah.

Sebaliknya, tawa canda juga merupakan akhlak terpuji dan tidak tercela bila pada tempatnya dan sesuai dengan kadarnya. Bila dimaksudkan dari sebuah ketawa dan canda adalah manfaat dan hal yang positif, maka canda waktu itu merupakan suatu keseriusan, dan tertawa adalah kehormatan. Karena sifat tertawa itu juga terpuji, maka banyak orang arab dahulu yang menamakan anaknya dengan nama Adh Dhahhak (orang yang suka ketawa), Al Bassam (orang yang suka tersenyum) dan Ath Thalq (berwajah ceria). Rasulullah pernah bercanda dan tertawa, termasuk para sahabat dan orang-orang shaleh setelah mereka. Allah SWT sendiri menyatakan dalam QS An Najm: 43 bahwa Dialah yang membuat tertawa dan membuat menangis. Padahal ayat berikutnya memasangkannya dengan mematikan dan menghidupkan.

Ada kisah-kisah lucu yang dapat membuat tertawa yang diabadikan oleh seorang pujangga abad pertengahan yaitu Al-Jahizh dalam karyanya, “Berita orang-orang bodoh dan lalai” dan “Orang-orang bakhil” serta “Orang-orang kaya”. Juga banyak lagi tersebar dalam karya-karya sastra yang lain. Diantara pemilik kisah tersebut adalah seorang arab kampung yang kadang baik dan pintar. Tapi dilain waktu dia bodoh dan agak “tolol”. Nama beliau yang paling terkenal itu adalah Juha, gelarnya Abul Ghushni. Banyak diriwayatkan tentang kecerdikan dan kepintarannya disamping juga banyak diriwayatkan ketololan dan kebodohannya.

Sekelumit kisah ketololan dan kebodohan Juha

Suatu hari salah seorang tetangga Juha meninggal dunia. Dia diminta mengurus kuburannya. Pergilah ia mencari penggali kuburan. Setelah lama bernegosiasi dengan penggali kuburan, akhirnya Juha pergi berlalu dan tidak jadi memesan kuburan. Ia pergi ke pasar menuju penjual kayu balok. Dia membeli 2 kayu balok dan pulang menuju rumah orang yang meninggal. Sesampai di rumah duka, Juha menyampaikan informasinya kepada tuan rumah, “Tidak jadi dibuat kuburannya. Terlalu mahal, upahnya 5 dirham. Saya belikan saja dua balok, murah, hanya 2 dirham harganya. Untung kita 3 dirham, kita salib saja yang mati itu, bebas dia dari beban kubur dan adzabnya serta pertanyaan Munkar dan Nakir.”

Suatu ketika dia melewati orang-orang sambil membawa bungkusan di pundaknya. Bungkusan itu berisi buah khukh yang sangat banyak. Lalu ia berkata, “Siapa yang tahu apa isi bungkusan saya ini? Yang tahu jawabannya saya kasih buah khukh yang paling besar.”

Suatu malam Juha sedang duduk di halaman rumahnya dengan seorang temannya sambil memandang bulan purnama yang indah dilangit. Teman Juha berkata, “Alangkah indahnya bulan tersebut.” Juha menimpali, “Benar… Terutama bila di malam hari.”

Ketika ayahnya berangkat pergi haji, Juha melepas keberangkatan sang ayah, dan berkata, “Ayah… Selamat jalan… Jangan terlalu lama meninggalkan kami untuk haji. Segera pulang bila sudah selesai. Aku harap ayah ada bersama kami di hari raya. Kita menyembelih qurban bersama.”

Juha pernah memiliki 10 ekor keledai. Ketika ia akan menunggangi keledainya, ia menghitungnya satu persatu untuk memastikan jumlahnya lengkap 10 ekor. Lalu ia menunggangi seekor keledainya. Kemudian ia menghitung kembali keledainya. Dia kaget karena keledainya menjadi 9 ekor saja. Ia turun dan menghitungnya kembali. Juha tersenyum, keledainya lengkap 10 ekor. Ia naik lagi ke punggung keledainya dan mengulang lagi hitungannya. Eh, lagi-lagi keledai hanya 9 ekor saja (karena Juha tidak menghitung yang ditungganginya). Saat dia bingung melihat kekurangan ini, lewatlah seorang temannya dan bertanya apa yang terjadi. Juha menjelaskan apa yang telah menimpanya dengan detail. Temannya itu tersenyum dan berkata, “Kamu itu salah hitung… keledaimu ada 11 ekor.” Juha semakin bingung mendengar penuturan temannya tersebut. “Kalau kamu tidak percaya, ini saya hitung semuanya.” Temannya itu pun menghitung 10 keledai tersebut dan melengkapkan 11 dengan Juha.

Baca :   Membangun Perubahan Kebaikan

Sekelumit kisah-kisah kecerdikannya

Abu Bakar Al Kalbiy meriwayatkan bahwa dia pergi dari Bashrah menuju Kufah. Sesampai di Kufah dia bertemu dengan seorang bapak yang sedang berdiri di bawah terik matahari (dia adalah Juha). Lalu Al Kalbiy bertanya, “Wahai bapak, dimanakah rumah Al Hakam?” Bapak itu menjawab, “Waraa ak… (Dibelakangmu)” Maka Alkalbi berbalik ke belakangnya dan berjalan. Tiba-tiba Juha berteriak, “Yaa subhanallah, aku bilang waraa ak, kok engkau berbalik ke belakang? Tidakkah kamu tahu bahwa Ibnu Abbas telah menafsirkan QS Al Kahfi: 79 “Waraa ahum” adalah di hadapan mereka?!”

Pada suatu hari seorang lelaki bertanya kepada Juha, “Aku dengar ada suara jeritan di rumahmu tadi. Ada apa?”. Juha menjawab, “Itu bajuku yang jatuh dari atas loteng. Kalau ia jatuh dari atas, dan aku ada di dalamnya, maka akan terdengar teriakan.”

Suatu saat Juha menunggangi keledainya di pasar. Berpapasanlah dia dengan seorang lelaki. Orang ini hendak mengejek dan merendahkan Juha. Dia berkata, “Aku kenal betul dengan keledai ini. Tapi siapakah gerangan yang menungganginya?” Dengan tenang Juha menjawab ejekan ini, “Itu sudah lumrah, sesama keledai memang saling mengenal.”

Juha juga terkenal agak sedikit pelit. Bila ada tetangganya yang meminjam sesuatu ke rumahnya, maka ada saja alasan yang dibuatnya. Seorang tetangganya datang hendak meminjam keledainya untuk mengangkut barang. Maka Juha mengatakan bahwa keledainya baru saja dipinjam oleh orang lain untuk mengangkut barang. Saat orang itu hendak berbalik, tiba-tiba keledai Juha meringkik di kandangnya dengan suara yang keras dan terdengar kemana-mana. Orang itupun berkata kepada Juha, “Itukan suara keledaimu di kandangnya?” Juha menjawab, “Masak kamu percaya kepada keledai dan gak percaya kepada saya?”

Suatu hari Juha bercanda dan mengatakan bahwa si Fulan (tetangganya) akan meninggal besok hari. Ternyata tetangga tersebut memang meninggal keesokan harinya. Maka orang-orang menjadi heboh. Mereka mengatakan bahwa Juha bisa tahu kapan seseorang akan meninggal. Tersebarlah berita ini dengan cepat di negeri itu dan sampai ke telinga Sultan. Sang Sultan langsung memerintahkan pengawalnya untuk menjemput Juha. Sesampai di istana Sultan, Juha disuruh berdiri di hadapan Sultan. Dengan suara keras sang Sultan berkata, “Aku dengar engkau dapat mengetahui kapan seseorang meninggal dunia. Sekarang, beritahu aku, kapan aku akan meninggal? Kalau tidak kamu jawab, engkau akan aku bunuh, kalau jawabanmu salah, engkau juga akan aku bunuh!”
Juha menggigil ketakutan. Bagaimana cara menjawab pertanyaan dan perintah Sultan ini. Nyawanya betul-betul berada di ujung tanduk. Salah-salah menjawab, alamat berakhirlah riwayatnya. Setelah berfikir keras, Juha menjawab sambil menundukkan kepalanya, “Baginda akan meninggal dunia 3 hari setelah hamba meninggal dunia.” Mendengar jawaban Juha, Sultan terdiam sejenak, lalu memerintahkan pengawalnya melepaskan Juha dan memberikan biaya hidup baginya.

Oleh: Ust. Irsyad Safar, MA.
Lihat Juga

Tentang Abu Faguza Abdullah

Hai orang-orang mu'min, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu. (Q.S. Muhammad: 7)

Lihat Juga

Inilah 6 Jenis Haji Selain Haji Mambrur Yang Banyak Terjadi Dilapangan

Rasulullah saw bersabda: العمرة إلى العمرة كفارة ما بينهما، والحج المبرور ليس له جزاء إلا …

Tinggalkan Balasan