Beranda / Uncategorized / Balada Cinta Keluarga Pejuang

Balada Cinta Keluarga Pejuang

kasurau – “Beristirahatlah wahai Fatimah, agar sakitmu segera hilang,” kata Ali kepada istri tercintanya, Fatimah binti Rosululloh SAW. Saat itu Fatimah sedang jatuh sakit selama berhari-hari. Dan selama itu pula Ali hampir tidak beranjak keluar rumah, demi mengurusi segala keperluan Fatimah.

“Aku telah cukup beristirahat”, jawab Fatimah dengan suara lirih, “sampai-sampai aku malu apabila melihatmu mengerjakan tugas seorang ibu.”

“Jangan pikirkan itu. Bagiku semua ini sangat menyenangkan.”

“Tapi sudah terlalu lama rasanya engkau menggantikan pekerjaanku”.

Sungguh, Fatimah merasa sangat tidak nyaman telah merepotkan suaminya dengan keadaannya.

“Jangan pikirkan itu. Aku melakukan segalanya dengan senang hati. Percayalah.”, Kata Ali dengan suara lembut.

“Engkau sungguh suami yang mulia”.

Tak terasa butiran bening mengalir dari kedua mata Fatimah.

“Wahai istriku, adakah engkau menginginkan sesuatu?”, Alipun bertanya kepada istrinya. Ia berpikir, barangkali ada makanan kesukaannya yang bisa membuat Fatimah agak baikan.

“Sesungguhnya”, kata Fatimah setelah terdiam dan berpikir beberapa saat, “sudah beberapa hari ini aku menginginkan buah delima.”

“Baiklah. Aku akan membawakannya untukmu dengan rezeki yang diberikan Alloh kepadaku”, kata Ali sambil bersiap keluar rumah.

Alipun bergegas ke pasar dengan semangat. Sambil membayangkan istrinya di rumah seang menunggu buah delima idamannya. Tapi ternyata uang yang dimiliki Ali hanya cukup untuk membeli sebuah delima. Tidak lebih. Maka sebuah delima itulah yang dibawanya pulang dengan segera.

Di tengah perjalanan pulang, Ali melihat seorang renta yang sedang menggigil di sudut jalan. Iapun menghampiri orang itu dan menyapanya.

“Assalamu’alaikum, wahai sahabat”, kata Ali ramah

’Alaikumussalam… “ sahut orang itu dengan suara lirih seakan menunjukkan betapa lemah tubuhnya.

“Apa yang terjadi dengan dirimu?”, kata Ali kemudian

“Sudah sejak dua hari lalu perutku tak kemasukan makanan apa pun”

Alipun tercengang. Kebimbangan menyelimuti hati dan fikirannya. Sungguh, ia begitu ingin memberikan buah delima yang baru dibelinya kepada orang itu. Tapi terbayang sosok Fatimah yang begitu dicintainya sedang tergolek lemah dan menunggu buah delima darinya. Akhirnya ia memotong buah delima itu menjadi dua bagian. Separuhnya ia berikan kepada orang tua itu.

Sesampainya di rumah, Fatimah agak heran melihat buah delima yang hanya sepotong itu. Ali pun menjelaskan tentang kejadian yang baru dialaminya sambil mempersilakan Fatimah menikmati buah delimanya.

Tiba-tiba mereka mendengar suara suara ketukan pintu dan ucapan salam dari seorang laki-laki. Rupanya Salman Al Farisi yang datang. Ia datang membawa bungkusan makanan.

“Apa yang kau bawa itu wahai Salman?, tanya Ali kepada Salman.

“Buah delima”, sahut Salman

“Dari mana engkau mendapatkannya?”

“Dari Alloh, untuk RosulNya, kemudian untuk Anda”

Ali pun segera membuka bungkusan yang dibawa Salman dan menghitung buah delima di dalamnya. Ternyata jumlahnya sembilan buah.

“Tidak mungkin ini dari Alloh”, kata Ali kepada Salman.

“Kalau ini benar dari Aloh”, lanjutnya, “maka jumlahnya adalah sepuluh. Sebab Alloh telah berfirman, ‘Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya’“.

Salman pun tersenyum malu. Ia memang membawa sepuluh buah delima. Dan ia sengaja menyembunyikan satu buah untuk menguji kecerdasan Ali yang terkenal.

Begitulah. Seorang pemuda hasil didikan langsung Rosululloh menikah dengan seorang gadis yang juga hasil didikan langsung Rosululloh. Maka hasilnya adalah sebuah cinta yang bersandar kepadaNya. Sebuah cinta yang menjadi inspirasi yang berujung cinta kepadaNya. Bukan berarti keluarga dua manusia hebat ini tak luput dari berbagai persoalan. Kekurangan materi, sampai pertengkaran-pertengkaran pun mewarnai kisah pernikahan mereka selama kurang lebih sepuluh tahun. Tapi semuanya dikembalikan kepada Aloh dan RosulNya. Dan catatan sejarah menyimpulkan bahwa kelak keturunan mereka akan menjadi orang-orang yang luar biasa.

Baca :   Fauzi Bahar Ajak Masyarakat Tidak Memilih Cawako Yang Menolak Berdirinya Rumah Sakit Siloam

Ikhlas Membawa Berkah

Suatu ketika pintu keluarga Ali dan Fatimah diketuk orang. Saat itu mereka sedang bersiap untuk bersantap bersama. Ali, Fatimah, Hasan, dan adiknya, Husein. Ternyata seseorang kelaparan datang untuk meminta bantuan kepada keluarga mulia itu. Dan diberikanlah jatah makanan Ali kepada tamunya. Selang beberapa lama, datang lagi seseorang dengan kondisi yang sama. Maka diberikanlah jatah makanan Fatimah yang belum dimakan kepada tamu ke dua mereka. Tapi tak berapa lama, terdengar ketukan ke tiga. Kali ini anak kecil yang datang dengan kondisi yang juga kelaparan. Tentu dia datang juga untuk meminta belas kasihan keluarga Ali. Tapi tentu kita juga tahu, keluarga itu kalaupun punya makanan, hanya pas untuk anggota keluarga mereka. Kemudian si sulung Hasan bergegas hendak memberikan jatah makanannya kepada anak itu, tapi dilarang oleh kedua orang tuanya.

“Wahai ayah bundaku, bagaimana mungkin aku bisa makan sementara ada anak yang lebih kecil dari usiaku kelaparan serta mengetuk pintu rumah kita?”

Ali dan Fatimah pun tersenyum dan mengijinkan Hasan untuk memberikan jatah makanannya kepada anak kecil yang baru datang itu. Jadilah kini hanya Husein yang mempunyai jatah makanan di keluarga itu. Ketika Husein hendak menyantap makanannya, tiba-tiba terdengar lagi ketukan pintu dengan suara lemah. Kali ini datang lagi anak kecil. Lebih kecil dari anak yang datang tadi. Kondisinya sama, kelaparan. Maka Husein pun bergegas hendak memberikan jatah makanannya. Tapi lagi-lagi dicegah oleh orang tuanya. Ali dan Fatimah sungguh tidak tega melihat anak mereka yang masih sekecil itu harus menanggung lapar padahal sebenarnya ia mempunyai makanan.

“Duhai ayah bundaku”, Husein kecil mencoba berargumen, ”bagaimana mungkin aku makan sementara ada anak sebayaku yang kelaparan?”

Maka jadilah malam itu keluarga Ali menahan lapar demi sebuah cinta yang menjadi visi mereka.

Apakah kisah menakjubkan dari cinta sepasang pejuang Alloh itu hanya bisa dinikmati sekedar pemanis sejarah?

Ternyata saat ini pun kita menemukan banyak keluarga muslim yang begitu sederhana, bapak-ibunya jauh dari teori-teori pendidikan yang sedang ngetrend, tapi keluarga mereka diliputi berkah dalam mendidik anak-anaknya. Anak SMU-nya lulus dengan baik, plus hafal 1000 Alifah Ibnu Malik, rujukan utama gramatika Arab (nahwu). Beberapa tahu berikutnya, sang adik mendapatkan beasiswa ke sebuah universitas terkenal di eropa. Saudaranya yang lain, mengambil kuliah dengan cara unik : bahasa Arab di sebuah Ma’had dan Jurusan Ekonomi di sebuah universitas. Keponakannya hafal 30 Juz menjelang akhir semester delapan di institut teknologi terbaik di negeri ini. Keponakannya yang lain lulus akademi militer angkatan darat, tetap dengan sifat santrinya yang tidak luntur.

Rahasianya? Kecintaan keluarga tersebut kepada para ulama dengan cinta yang sesungguhnya, serta keberanian mereka ber amar ma’ruf nahi munkar, juga dengan arti yang sebenarnya. Memang benar kata Ali Zainal Abidin, cucu Ali bin Abi Thalib, “Barang siapa meninggalkan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar, maka anak, istri, dan pembantunya pun akan membangkang kepadanya.”

Robbanaa hablanaa min azwaajinaa Qurrota a’yuun…

Lihat Juga

Tentang Abu Faguza Abdullah

Hai orang-orang mu'min, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu. (Q.S. Muhammad: 7)

Lihat Juga

Awas ! Ini Tanda – Tanda Jin Menyukai Anda

SerambiMINANG.com -Jin merupakan mahluk Allah dan mereka juga hampir sama dengan kita walaupun berada di …

Tinggalkan Balasan

Balada Cinta Keluarga Pejuang - Serambi Minang