KASURAU – Oleh: Ustadz DR. Zulfi Akmal, Lc. MA.
Di akhir ayat yang mengisahkan perjalanan hidup Nabi Yusuf, Allah menyebutkan do’a beliau yang menjadi penutup kisah ini, sebelum al Qur’an memberikan komentar terhadap kisah panjang yang sangat sarat pelajaran.
Nabi Yusuf mengemukakan munajatnya yang sangat menyentuh dan mendebarkan, bahkan menakutkan bila ditadabburi dalam-dalam. Do’a itu berbunyi:
رَبِّ قَدْ آتَيْتَنِي مِنَ الْمُلْكِ وَعَلَّمْتَنِي مِنْ تَأْوِيلِ الأحَادِيثِ فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ أَنْتَ وَلِيِّي فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ تَوَفَّنِي مُسْلِمًا وَأَلْحِقْنِي بِالصَّالِحِينَ
“Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebahagian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebahagian takbir mimpi. (Ya Tuhan). Pencipta langit dan bumi. Engkaulah Pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh”. (Yusuf: 101)
Nabi Yusuf yang bertitel “rasul” malah di akhir hayatnya memohon dimatikan sebagai seorang muslim dan digabungkan ke dalam golongan hamba-hamba Allah yang shaleh. Padahal titel kerasulan jauh lebih tinggi dari itu semua. Apa rahasianya?
Dari ayat ini kita menemukan ketawadhu’an seorang rasul dan kecemasannya akan su’ul khatimah. Beliau memohon supaya meninggal tetap dalam keadaan muslim.
Coba bayangkan, seorang rasul yang ma’shum, terjauh dari dosa, dijamin masuk surga, kemudian perjalanan hidupnya sudah bertabur kebaikan, kesabaran dari satu ujian kepada ujian lainnya, pemaaf, mengeluarkan bangsa Mesir dari krisis dan segala sifat baik bersatu dalam dirinya lahir dan batin, masih saja beliau mencemaskan bagaimana akhir dari kehidupannya.
Beliau sadar, selagi ruh berada di kandung badan ujian Allah tidak akan pernah berhenti. Manusia tidak berhak menyombongkan diri dan merasa berhak di hadapan Allah betapapun amal shaleh yang sudah ia lakukan sebelumnya. Karena semua itu mampu ia lakukan semata-mata karena nikmat, kasih sayang dan bimbingan Allah.
Seorang mukmin akan selalu berhati-hati, karena dia tidak merasa aman bila Allah mencabut hidayah dari hatinya seperti yang dialami Iblis, Bal’am bin Ba’ura’, Barsisha, dan orang fasik lainnya. Tidak ada dalam kamus seorang mukmin ungkapan:
“إن الكريم إذا وهب ما سلب”
“Yang Maha Pemurah (Allah) bila memberi tidak akan pernah mencabut lagi pemberian-Nya itu”.
Justru semakin banyak pemberian Allah kepada dirinya ia akan berlaku semakin berhati-hati, bukan bermental mentang-mentang. Allah tidak ada segan kepada siapa pun. Bahkan kecemburuan-Nya kepada hamba yang sudah mendekatkan diri kepada-Nya melebihi dari pada kecemburuan kepada hamba-Nya yang awam.
Itulah di antara keteladanan yang diberikan oleh Nabi Yusuf untuk kita. Jangan bersifat mentang-mentang di hadapan Allah! Justru semakin banyak hidayah seharusnya semakin tunduk, berhati-hati dalam bertutur, bersikap dan dan bertindak.
Tidak ada jaminan dari Allah bahwa kita akan mati dalam husnul khatimah.
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ
“Wahai Dzat Yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agamaMu.”
اللهم اختم أجلنا بحسن الخاتمة
“Ya Allah, tutuplah ajal kami dengan akhir yang baik”.
تَوَفَّنِي مُسْلِمًا وَأَلْحِقْنِي بِالصَّالِحِينَ