KASURAU – Karena beberapa sebab mungkin kita kehilangan sesuatu yang kita terbiasa melakukan berbagai hal dan terbiasa hanya dengan itu, meski mungkin apa yang hilang itu tampak tak berharga di mata orang-orang, meski yang hilang bisa diganti dan akan kembali seperti sedia kala menjelang terbiasa. Tapi tetap kehilangan itu menjadi satu titik yang memedih mata, pedih karena telah bersusah-susah kita mencapainya, pedih karena keringat dan air mata kita yang menetes disana, apatah lagi jika yang hilang adalah yang dengannya kita selalu berbagi; ayah, ibu, suami, istri, anak, kakak, adik, saudara, sahabat, teman atau yang lainnya.
Kehilangan mereka itu, yang kita cintai, apakah karena yang punya hendak mengambil kembali apa yang telah dititipkannya pada kita selama ini atau karena berbagai hal yang telah tertakdir bagi kita atau karena terhalang dan terlarang bagi diri. Kesemuanya itu adalah yang tersebab, yang pasti itu semua membuat perih hati, yang mengalirkan butir air mata sampai hanya isak yang tersisa. Kesemua itu.. serasa membuat separuh hidup tercerabut, ada yang tak biasa, dan menyesak di dada. Kesemua itu.. memberatkan langkah menyusuri sunyi hari-hari, dan pencipta sendu dalam menempuh perjalanan penuh liku.
Itulah…kehilangan ia bernama, yang menjadi musim-musim terberat dalam hidup, yang andai ditanya pada kita hari ini kapan kita siap untuk diambil salah seorang yang kita cintai, pasti semua akan menjawab tak akan pernah siap, walau kita tau suatu saat itu akan terjadi. Begitu beratnya sehingga dikatakan dalam penjelasan dan terjemahan Riyadusshalihin bahwa kehilangan itu sebagai musibah terbesar dalam hidup. Begitu beratnya sehinga Allah menetapkan surgalah sebagai ganti yang lebih layak, seperti yang telah disabdakan oleh nabi “jika seorang hamba ditinggal mati oleh orang yang paling dicintainya, lalu ia bersabar, dan mengharapkan pahala dari Allah, maka tidak ada pahala baginya keculai syurga” dari Abu Hurairah, diriwayatkan oleh Bukhari.
Kehilangan. Kehilangan yang sang nabi pun pernah mengalaminya, kehilangan seorang paman yang senantiasa membela. Kehilangan sang paman yang selama ini menjadi perisai bagi beliau, yang karena kehilangan itu semakin menjadi-jadilah tekanan demi tekanan yang diterima nabi atas dakwah beliau. Yang tekanan-tekanan itu kemudian yang melatari nabi untuk hijrah ke Thaif. Lalu kehilangan sandaran hati tempat berbagi, sang isteri Ummu Khadijah. Kehilangan orang yang sangat dicintai oleh beliau, yang mendukung setiap dakwah beliau dan selalu menguatkan beliau. Kehilangan beruntun yang terjadi pada tahun kesepuluh kenabian, yang oleh para ahli sejarah tahun tersebut dikatakan sebagai tahun duka cita. Duka cita yang juga karena dengan kehilangan mereka itu semakin tertutup rasanya pintu dakwah beliau.
Kehilangan, adalah sebentuk ujian dari Allah untuk menguji diri menurut kadar masing-masing kita. Ujian, penentu kelas kita dimana. Ujian untuk menempa diri, menguatkan sendi-sendinya agar tak mudah patah. Lihatlah betapa orang-orang yang diuji dengan kehilangan perlahan keadaan tersebut memaksa dan mendiidik diri untuk menjadi lebih kuat dan tabah, si manja jadi lebih mandiri, dan si apa saja menjadi lebih terarah karena hal tersebut. Karenanya ujian itu sekaligus juga sebentuk kasih sayang yang diberikan Allah, bahwasanya Allah ingin kita menjadi apa yang dikehendaki Nya.
Dan jika kita masih percaya akan adanya hikmah dibalik ketentuan yang ditetapkan Nya, maka kehilangan itupun punya hikmahnya tersendiri, hikmah yang mungkin akhirnya kita temui dalam perjalanan atau di penghujung jalan kita. Hikmah yang sebenarnya bukan untuk tujuan berandai-andai tapi mengambil apapun yang bisa dijadikan ibrah. Seperti rasul kita yang kehilangan orang yang beliau cintai saat beliau membutuhkannya. Hikmahnya Abu Thalib dipanggil Allah agar tidak terjadi penyimpulan yang salah akan ‘nasib baik’ rasulullah pada saat melaksanakan dakwahnya lataran pembelaan pamannya, orang yang ditakuti dan disegani oleh kaumnya. Hikmahnya Khadijah diambil oleh Allah lebih dulu, disaat beliau merasakan tekanan demi tekanan itu untuk menampakan pada kita, sebagai teladan bagi kita bahwa nabi kita diuji dengan hal-hal yang berat *Al Buthy, sirah nabawiyah
Akan tetapi ada kalanya ujian kehilangan itu adalah sebentuk peringatan yang kadang kita tidak menyadarinya sama sekali, peringatan akan tercurahnya kasih yang berlebih terhadap mereka yang kita cinta hingga terlupa menempatkan cinta kita pada cinta yang sesungguhnya cinta. Allah ingin menyadarkan kita tentang hal itu. Allah ingin kita lebih dekat dengan Nya, Allah ingin kita akhirnya menyadari bahwasanya Dia saja tempat bergantung yang tak akan putus, dan selalu tersambung.
Sejenak kita renungi kembali tentang tragedi kehilangan yang telah, dan sedang menimpa kita hari ini. Ah, tetapi kehilangan itu adalah ketetapan yang kita tak punya daya apa-apa atasnya, disanalah letak dan pembuktian iman kita pada takdir Nya. Pun kita harus menyadari bahwa kehilangan boleh menyedih dan melukai tapi jangan sampai pada akhirnya kita juga kehilangan Allah, kehilangan yang sebenar-benarnya. Itulah yang mesti sama-sama kita jaga. Wallahu a’lam
Oleh Yourami Hanifah