KASURAU – Berubahnya zaman selalu diikuti oleh pola, laku hidup, dan kebiasaan harian. Jika tidak bijak bijak, ia kadang merubah bebagai hal secara subtansial. Jika tak punya pijakan, ia pun akan menenggelamkan si subjek dan objek ke dalam praktek-praktek yang menyandera diri sendiri dalam ketidak tahuan atau ketidak mau tahuan.
Parektek-praktek tersebut bisa terjadi dimana saja, kapan saja dan dalam hal apa saja. Dalam sebuah majelis ilmu salah satunya. Mejelis, tempat kita biasa duduk berkumpul untuk mendengarkan, belajar dan menyimak kajian. Adalah majelis tempat kita dihimbau kepada Tuhan, tempat kita berusaha membuhul pemahaman, diseru kepada iman dan takwa kepada Nya. Pengertian itu merujuk pada kata mejelis itu sendiri yang diambil dari bahasa arab majlis, dengan asal kata jalasa, yajlisu yang berarti duduk, dan majlis yang merupakan ism makaan –kata yang menunjukan tempat- berarti tempat duduk. Sedangkan ilmu merupakan bentuk mashdar yang berasal dari fi’il ‘alima, ya’lamu, ‘ilman yang berarti mengetahui atau pengetahuan. *berbagai sumber
Bagaimana dalam melakukan penyampaian dalam mejelis ilmu tentu bukanlah soal. Sebab kita selalu mengadaptasikan cara dengan perubahan-perubahan yang terjadi sesuai dengan zamannya, dengan kebutuhan-kebutuhan yang ada, serta dengan kemajuan yang mengikuti zaman itu sendiri. Namun sebagaimana yang disampaikan dalam pembuka paragraf ini bahwa apapun janganlah sampai merubah substansi; apa yang sebenarnya dan apa yang seharusnya.
Perubahan ini dapat kita lihat dalam majelis yang banyak diadakan sekarang, majelis yang mengetengahkan humor dan kelakar sebagai daya tarik. Humor, pada dasarnya adalah penyegar yang diberikan dalam penyampaian pada suatu majelis. Namun terkadang humor itu sendiri yang merubah substansi dalam majlis ilmu. Si penyampai terkadang sibuk dengan humor, guyonan ngawur yang menyebabkan pendengar terpingkal-pingkal. Secara tak sadar pengajian habis, hanya kelucuan yang dibawa pendengar kerumah, dan disampaikan pada anggota keluarga. Kemudian tak beda antara dua orang dalam rumah itu yang sama-sama pulang dari acara yang berbeda. Yang satu dengan tujuan menuntut ilmu dan yang satu lagi memang mencari hiburan di show komedi, yang mereka sampaikan satu, sama-sama lucu.
Penyampai yang humoris memang cenderung disukai oleh pendengar karena membuat pendengar tidak cepat bosan dan mengantuk. Tapi sang penyampai berhati-hatilah, dan berpikirlah akan hal itu, bosannya pendengar kalau tidak dengan humor yang berlebihan mungkin berarti apa yang disampaikan adalah hal-hal yang tidak berbobot, lantaran yang menyampaikan tak mumpuni dalam keilmuan untuk menyampaikan. Tidak terkuak intisari dari apa yang disampaikan, tidak tergambar goal apa yang jadi titik akhir sang penyampai. Dengan materi yang berat misalnya, harusnya itu membuat melek mata pendengar, takjub hatinya dan tergetar jiwanya, bukan terpingkal. Sebenarnya juga bukan dengan humor berlebihan yang menjadikan topik yang berat itu bisa diterima dan menjadi ringan, yang menjadikannya ringan hanya lantaran diringan-ringankan.
Hal ini harusnya jadi perhatian, bukanlah hal yang hebat ‘memukau’ orang sampai terkekeh dalam sebuah majelis ilmu. Adalah hal yang aneh malah jika hampir di setiap detik ada tawa, diakhirnya ditutup dengan tangis, yang orang sebenarnya tidak tahu apa betul sebenarnya yang dia tangiskan. Terkecuali memang itu adalah majelis dimana memang diperuntukan untuk membuat orang tertawa, stand up comedy misalnya. Kadang malah, diacara lawakan-lawakan itu masih ada nilai juga; kritik sosial. Yang ceramah apa? Kalau lucu-lucuan saja lalu apa lagi akan kita namakan majelis ilmu yang biasa diadakan? Majelis yang mengundang orang untuk takwa, majelis takwa atau majelis yang membuat orang tertawa, majelis tawa. Ya, bedanya hanya K ditengah.
Oleh Yourami Hanifah