Beranda / Uncategorized / Kisah Heroik Pegawai Pajak Mengembalikan Uang Suap Perusahaan

Kisah Heroik Pegawai Pajak Mengembalikan Uang Suap Perusahaan

KASURAU – Saya adalah alumni STAN Prodip Keuangan Spesialisasi Perpajakan tahun 1997. Sekarang bekerja di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai Kepala Seksi Penagihan di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Tapaktuan.  Sebelumnya saya pernah menjabat sebagai Account Representative di Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing Empat (KPP PMA Empat).

Tahun 2010 adalah tahun yang berat buat instansi kami, DJP. Kasus Gayus Tambunan menjerembabkan kami dalam lubang stigma yang begitu dalam. Kami semua sama dengannya. Masyarakat mempertanyakan modernisasi yang sudah berjalan selama ini. Dan terpenting mempertanyakan integritas kami.

Tapi memang atas pertanyaan tersebut, menjawabnya sudah bukan dengan kata-kata lagi, karena tuduhan membela membabi-buta akan tetap tersematkan kepada kami. Cukuplah dengan tindakan, biarkan Allah dan masyarakat yang melihat dan menilai. Setelahnya akan banyak cerita tersampaikan. Dan inilah cerita itu.

Sebagai Account Representative, sudah menjadi kewajiban saya untuk memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada Wajib Pajak di samping fungsi pengawasan yang juga tidak bisa dipisahkan dan dipandang remeh dari kewajiban itu. Melakukan kunjungan atau visit ke tempat Wajib Pajak adalah salah satu bentuk dari fungsi pengawasan ini.

Kali ini saya harus pergi ke daerah Semarang, lokasi tempat Wajib Pajak PT ABC—bukan nama sebenarnya—itu berada dan menjalankan pabrik garmennya. Tidak serta merta kunjungan itu dilakukan. Ini adalah upaya lanjutan setelah upaya-upaya sebelumnya tidak membuahkan hasil.

Menelepon dan menghimbau secara informal telah dilakukan. Surat himbauan beberapa kali telah disampaikan. Bahkan konseling pun telah dilaksanakan. Semata-mata agar Wajib Pajak benar-benar melaksanakan kewajiban pajaknya dengan sungguh-sungguh. Apalagi sebagai Wajib Pajak penanaman modal asing yang tentunya harus menunjukkan keseriusannya dalam berusaha serta menunaikan hak dan kewajibannya  di bidang perpajakan.

Seringkali—ini dari pengalaman melakukan kunjungan—kunjungan ini pun dianggap remeh oleh Wajib Pajak. Apalagi fungsi dari kunjungan ini pun tidak seluas pemeriksaan lapangan yang dilakukan oleh para fungsional pemeriksa pajak yang dengan wewenang undang-undang dapat meminta data-data paling sensitif yang dimiliki hingga melakukan penyegelan tempat Wajib Pajak.

Kunjungan yang dilakukan oleh Account Representative tidaklah bergigi seperti mereka. Account Representative hanya dapat melakukan pengamatan terhadap kondisi Wajib Pajak kemudian menganalisisnya. Data-data yang diberikan oleh Wajib Pajak pun semata-mata karena komunikasi persuasi yang dilakukan oleh Account Representative. Itu pun jika Wajib Pajak mau. Jika tidak, ya cukup gigit jari dan berusaha keras untuk mendapatkan data eksternal.

Dengan segala peremehan bahwa kunjungan ini sama seperti yang biasa dilakukan oleh aparat pemerintahan yang lain—hanya untuk mencari-cari kesalahan dan kemudian meminta imbalan kepada Wajib Pajak—ditambah dengan kesan hebat waktu itu terhadap aparat pajak karena sedang hangat-hangatnya pemberitaan terhadap Gayus Tambunan, meka lengkap sudah kunjungan pembinaan yang kami lakukan ini miskin dengan antusiasme terhadap tujuan utama kami. Yakni semata-mata agar Wajib Pajak paham dan mau melakukan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang telah dipungutnya.

Memang untuk kali ini, Wajib Pajak tersebut kena masalah dalam urusan penyetoran PPN. Sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) Penjual, Wajib Pajak ini mempunyai kewajiban menerbitkan faktur pajak dan memungut PPN dari PKP Pembeli. Namun setelah dipungut seharusnya disetorkan ke kas negara dan dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Masa, tapi masalahnya PPN itu tidak disetor dan dilaporkan. Bahasa halusnya uangnya diputar ulang untuk bisnis lagi atau “dimakan”.

Walaupun demikian, saya tetap bersemangat dan sudah waktunya kini menunjukkan kepada Wajib Pajak bahwa kami berdua—saya dan teman yang akan berkunjung ke tempatnya—tidaklah seperti dugaan mereka. Apalagi sama seperti Gayus.

Siang itu, kami diterima oleh Pak Budi—sebut saja demikian—yang menjabat sebagai manajer keuangan di perusahaan tersebut. Berbasa-basi sebentar kemudian langsung menuju inti persoalan. Ketika Pak Budi menunjukkan data-data pembayaran, ternyata data-data itu tidak sebanding dengan data-data yang kami miliki. Makanya kami meminta kepada Pak Budi agar dipertemukan dengan pimpinan tertinggi di perusahaan tersebut untuk berbicara langsung dengan Mr. Bun—bukan nama yang sebenarnya—untuk mengetahui pokok permasalahan.

Akhirnya kami dapat menemuinya. Banyak alasan yang dikemukakan. Mulai dari kondisi keuangan perusahaan, klien yang tidak tepat membayar tagihandan PPN, orderan yang seret, dan lain-lainnya. Alasan yang sering kami dengar dan terima. Tetapi apapun alasannya, kami secara persuasif tetap meminta kepada Mr. Bun untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan benar.

Setelah lama diskusi sekaligus memberikan solusi jangka pendek dan menengah terhadap permasalahan perpajakannya, saatnya kami untuk berkeliling melihat-lihat kondisi pabrik dan proses produksi garmen dari awal sampai akhir. Terlihat dengan jelas kalau  perusahaan ini aktif. Ini dapat dilihat dari banyaknya mesin terpasang dan terpakai, serta jumlah karyawan yang bekerja. Kontras dengan apa yang dikatakan oleh Mr. Bun.

Dan sore pun telah jelang, saatnya kembali ke tempat kami bermalam. Nah, ketika saya bersalaman dengan Mr.Bun itulah, ia menyodorkan amplop tebal. “Untuk Bapak,” katanya. Saya sudah mengira isi di dalamnya: uang dan bukan gorengan. Otomatis tangan saya langsung mengembalikan  amplop itu kepadanya, sambil mengatakan, “Maaf Pak, tak perlu.” Tapi Mr.Bun tak mau kalah,  ia dengan ngototnya berusaha untuk mengembalikan amplop itu kepada saya.  Sempat terjadi tolak-menolak ini beberapa saat.

“Tidak Pak, kami sudah punya ongkos pulang. Kedatangan kami semuanya sudah dibiayai negara. Jadi maaf, ini tidak bisa saya terima,” kata saya lagi. Akhirnya dia mengendorkan paksaannya itu. Syukurlah, dua tangan saya menolak serempak, enggak seperti yang sering didengar, tangan kanan digoyang-goyangkan tanda penolakan sambil bilang “tidak, tidak,” tetapi tangan kiri dengan secepat kilat memasukkan amplop itu ke dalam saku.

Baca :   Alaa Laa

Nah, ternyata masalahnya adalah ketika saya naik ke mobil, Mr. Bun kembali  memaksakan amplop itu diterima oleh saya. Saya pun berusaha dengan keras pula untuk menolaknya, namun ia tanpa panjang lebar langsung menutup pintu mobil. Saya cuma bisa terdiam dan tak  bisa berbuat apa-apa lagi.

Di sepanjang perjalanan pulang itu, perang batin pun dimulai. Banyak  alasan pembenaran untuk menerima amplop itu. Seperti ini: yang tahu bahwa saya menerima amplop dan isinya itu hanya satu, teman saya. Jadi buat apa malu. Atau alasan lumayan buat nambah-nambah ongkos pulang. Karena penggantian uang untuk perjalanan yang kami lakukan biasanya diterima lama. Atau alasan sekadar pertemanan dan tidak ada kaitannya dengan tugas. Yang terpenting tugas telah dilaksanakan dengan baik. Banyak sekali alasan yang berseliweran di dalam kepala.

Tapi itu tidak lama. Saya sudah putuskan untuk tidak menerima uang ini. Dengan cara apa? Jadi Robinhood, kasih ke fakir miskin dan masjid-masjid? Tidak ah. Kasih ke teman dan saya tidak perlu dapat apa-apa? Ini sama saja menjerumuskan teman. Kasih ke pegawai Mr. Bun, bukankah gaji mereka kecil-kecil? Niat baik tapi dengan cara yang salah. Aha, cling…! Tiba-tiba saya menemukan sebuah ide.

 Malamnya saya menulis email dan besok siangnya sebelum pergi meninggalkan Semarang, saya mengirimkannya kepada Mr. Bun dan Pak Budi. Isi email itu seperti ini:

Kepada Yth. Mr. Bun dan Pak Budi

PT ABC

Pertama-tama saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas sambutan Mr. Bun dan Pak Budi yang diberikan kepada kami pada saat melakukan kunjungan pembinaan ke PT ABC. Ini sangat membantu kami pada saat penyusunan laporan kunjungan tersebut kepada atasan kami serta dalam penyusunan profil perusahaan.

Dan kedua adalah kami dapat mengetahui kondisi yang sebenarnya dari Wajib Pajak serta mengetahui kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh Wajib Pajak dalam masalah penyetoran dan pelaporan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Tetap menjadi komitmen bagi kami adalah memberikan pelayanan yang terbaik kepada Wajib Pajak, memberikan bimbingan, konseling, dan tentunya fungsi pengawasan yang harus dijalankan oleh kami kepada PT ABC terhadap  pelaksanaan kewajiban perpajakannya.

Oleh karena itu agar fungsi-fungsi tersebut berjalan dengan baik dan profesional maka kami harus tetap memegang teguh kode etik dan aturan yang berlaku di kantor kami. Sungguh saya mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya atas perhatian yang diberikan kepada kami, namun kami juga dituntut untuk tetap memegang integritas itu.

Dengan demikian, dengan sangat menyesal, pemberian Bapak tidak bisa kami terima. Bapak memaksa kami menerima amplop tersebut walaupun dengan berusaha keras kami juga menolaknya. Insya Allah akan kami kembalikan segera dalam bentuk pembayaran PPN untuk masa pajak tertentu.

Saya meyakini betul daripada memberi uang kepada kami lebih baik uang itu untuk membayar pajak yang akan mengurangi beban PT ABC sendiri.

Surat Setoran Pajak  (SSP) itu akan kami buat, uangnya akan kami setor ke bank, dan akan kami kirim SSP-nya ke PT ABC. Semoga bermanfaat.

Sekali lagi terima kasih atas sambutannya. Terima kasih atas perhatiannya. Dan mohon maaf jika tidak berkenan. Semoga kerjasama kami dengan PT ABC tetap terjalin dengan baik di kemudian hari.

Riza Almanfaluthi

Account Representative, 18 Juni 2010

Empat hari kemudian, uang itu saya setor ke kas negara dengan menggunakan SSP atas nama PT ABC untuk pembayaran PPN-nya. Lalu bukti pembayaran aslinya itu saya kirimkan juga ke PT ABC. Saya fotokopi terlebih dahulu untuk saya arsipkan. Tuntas sudah.

Cerita ini sekadar memberikan gambaran bahwa terkadang Wajib Pajak berlaku demikian karena merasa tidak enak dengan kedatangan aparat, dan sudah menjadi kebiasaan kalau ada aparat pemerintah yang datang harus diberi sesuatu. Masalahnya tergantung pada aparat itu sendiri, ia menunjukkan gestur gerak, muka, dan anggota tubuh lainnya dalam rangka meminta atau tidak. Kalaulah tidak dan tetap dipaksa untuk menerima karena berbagai alasan, mungkin apa yang saya kisahkan ini bisa menjadi solusi.

Banyak cara untuk mencegah perilaku korupsi. Salah satunya dengan menanamkan dalam pikiran bahwa rezeki yang tidak halal itu tidak akan pernah berkah, cepat habis, dan hanya akan menjandi candu. Bila dibiarkan maka akan menjangkiti daya pikir serta menjadi karakter yang sulit untuk dihapuskan.  Penanaman kesadaran ini yang selalu saya lakukan setiap kali berangkat kerja. Agar tidaklah pupus semangat mempertahankan hal yang sulit ditemui pada saat ini: integritas

Pun, seperti  yang sering saya sampaikan, bahwa cerita ini adalah cerita biasa saja. Ada banyak cerita dari teman-teman saya yang lebih elok untuk dijadikan pembelajaran dalam rangka mempertahankan integritas. Bahkan ada yang tidak mau untuk diceritakan karena khawatir menjadi riya’.  Saya bercerita pun sekadar berbagi dan belajar untuk berusaha menjadi lebih baik lagi. Semoga.

Riza Almanfaluthi
Pegawai Ditjen Pajak

Lihat Juga

Tentang Abu Faguza Abdullah

Hai orang-orang mu'min, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu. (Q.S. Muhammad: 7)

Lihat Juga

Awas ! Ini Tanda – Tanda Jin Menyukai Anda

SerambiMINANG.com -Jin merupakan mahluk Allah dan mereka juga hampir sama dengan kita walaupun berada di …

Tinggalkan Balasan

Kisah Heroik Pegawai Pajak Mengembalikan Uang Suap Perusahaan - Serambi Minang