Al Khiyaratus Sha’bah (Pilihan-pilihan Sulit) - Serambi Minang
Beranda / Uncategorized / Al Khiyaratus Sha’bah (Pilihan-pilihan Sulit)

Al Khiyaratus Sha’bah (Pilihan-pilihan Sulit)

KASURAU – Pilih memilih menjadi keseharian hidup ini. Memilih merupakan kegiatan yang sering kita alami. Ia bagian dari hidup manusia. Karena sesungguhnya Allah SWT. menjadikan manusia sebagai makhluk yang boleh menentukan pilihan. Baik dilakukan secara perseorangan atau pun berkelompok. Termasuk dalam masalah prinsip hidupnya, apakah beriman atau kafir, apakah patuh atau membangkang. “Dan katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barang siapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zhalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek”. (Q.S. Al Kahfi: 29).

Meski kebanyakan orang tatkala memilih tidak mempunyai patokan baku sebagai ukuran dalam menentukan sebuah pilihan. Yang menjadi ukuran hanya didasari kecenderungan dan kepentingan. Amat mungkin pilihan itu mudah untuk diputuskan. Namun tidak jarang pilihan yang muncul menjadi sulit untuk ditetapkan. Ketika pilihan-pilihan menjadi sulit untuk diputuskan kadang manusia jadi linglung. Akhirnya berkutat pada sikap kebingungan. Malah kemudian membuatnya keliru mengambil keputusan.

Tak ubahnya saat memilih-milih baju di outlet-outlet factory yang merebak di sudut-sudut kota. Melihat sepotong baju yang terpampang di sebuah etalase tampaknya amat menarik. Tetapi ketika matanya tertuju pada potongan baju lainnya yang tergantung di pojokan outlet rasanya baju itu lebih bagus. Bingunglah akhirnya sang pembeli. Lalu ia tertipu oleh warna-warni pakaian yang bergelantungan. Ia pun membelinya. Namun sewaktu di rumah, ia lihat-lihat kembali pakaian yang baru saja dibelinya. Setelah mematut-matut diri di cermin, ia berkesimpulan bahwa baju yang dibelinya tidak cocok untuk ukuran tubuhnya. Baik warnanya, modelnya, jahitannya bahkan ukurannya. Tidak jarang kejadian seperti itu sering kita alami.

Pengalaman di pasar itu mestinya menjadi catatan bagi kita untuk mengambil sikap atas sebuah pilihan agar kita tidak terjebak oleh kecenderungan dan kekaguman sesaat. Apalagi menyadari bahwa kejadian itu amat sering kita alami. Sebab datangnya pilihan-pilihan kadang tidak dapat kita hindari. Hal ini bermula pada cara pandang terhadap pilihan-pilihan tersebut dan kesadaran akan dhawabith (patokan) untuk menilai sebuah pilihan. Terlebih pilihan itu adalah pilihan-pilihan sulit karena mengandung resiko yang berat, keterkaitan dengan banyak persoalan, kesiapan diri dan njelimetnya masalah yang bakal muncul. Seperti memilih sikap politik, figur pemimpin dan yang lainnya.

Dalam dakwah pilihan-pilihan sulit (Al Khiyaratus Sha’bah) adalah hal yang lazim terjadi. Para pengemban dakwah telah mengalami hal ini. Nabi Ibrahim AS. misalnya harus menentukan pilihannya. Apakah mentaati perintah Tuhannya menyembelih anak kesayangannya ataukah lebih mencintai anaknya ketimbang qararat rabbaniyah (instruksi tuhannya). Nabi Luth AS. juga dihadapkan pada pilihan apakah mengikuti ajakan sesat dan menyimpang kaumnya ataukah mengikuti ajaran Tuhannya meski dikucilkan oleh masyarakatnya. Dan masih banyak lagi pilihan-pilihan sulit yang dialami Para Nabi dan Rasul. Sepatutnya bagi kader dakwah, dalam mengambil keputusan atas pilihan sulit tidaklah menjadi urusan yang merumitkan. Melainkan hendaknya selalu berpijak pada manhaj rabbaniyah dalam mengambil suatu sikap. Sebab Islam telah mengajarkan cara pandang dalam menilai dan mengukur sebuah pilihan. Sehingga ia tidak bingung dan keliru menentukan pilihannya. Untuk itu ajaran Islam memberikan aturannya sebagai pijakan dasar dalam memandang sebuah pilihan yang ada. Diantaranya:

1. Rekayasa Allah SWT. (At Tadbirur Rabbani)

Menyadari bahwa pilihan itu justru karena kehendak Allah SWT. pada hamba-Nya. Sebab Dia Maha Tahu akan nasib kesudahan para hamba-Nya. Kadang pilihan tersebut tidak kita sukai. Namun perlu kita pahami setiap pilihan yang diberikan Allah SWT. mesti ada maksud dan hikmahnya. Dan inilah yang sering kali tidak kita sadari. Seperti terjadinya perang Badar. Awalnya peristiwa itu hanya ekspedisi militer yang bertujuan untuk menakut-nakuti kafilah dagang Quraisy. Dan ini sebagai wujud bahwa kaum muslimin bukan lagi sebagai pecundang yang mudah diperdaya dan ditekan. Selanjutnya mereka tidak menyangka bahwa kejadian itu akhirnya berujung menjadi perang besar. Lantaran kedatangan pasukan kafir Quraisy yang harus menyelamatkan kafilah dagangnya maka Allah SWT. menghadapkan kaum muslimin untuk menghadapinya.

Orang-orang mukmin sebenarnya tidak menghendaki perang tersebut. Ketidaksiapan mereka akan perang besar itu menjadi kendala besar yang membuat mereka mengajukan pandangan kepada Rasulullah SAW. Sehingga ada yang berpandangan untuk kembali ke Madinah mengajak kaum muslimin lainnya dengan berbagai perlengkapan dan asesoris peperangan. Namun, Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan tidak ada pilihan lain kecuali perang. Karenanya orang-orang mukmin menerimanya dengan lapang. Meskipun pilihan tersebut tidak mereka inginkan. “Sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu pergi dari rumahmu dengan kebenaran, padahal sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang beriman itu tidak menyukainya”. (QS. Al-Anfal: 5).

Hal ini pun sangat mungkin kita alami. Ketika kita menghadapi suatu masalah, sering kita tidak menghendaki masalah itu muncul. Malah mungkin kita akan lari meninggalkannya. Tetapi Allah SWT. tidak menyukai hal itu sehingga kita harus menentukan pilihan yang memang telah dirancang-Nya buat kita. Dalam menyikapi ini hanya satu sikap yang perlu dikedepankan, yakni berupaya lapang hati menerima pilihan Allah SWT. meski berat kita rasakan. Karena kita tahu apa yang telah ditentukan-Nya pasti ada maksud dan hikmah besar di dalamnya.

 2. Prinsip Keimanan (Al Mabadi’ul Imaniyah)

Datangnya pilihan, dipandang orang banyak, dengan ukuran senang dan tidak. Sehingga ditetapkannya dengan amat mudah melalui ukuran ‘saya senang kok’ atau ‘saya tidak suka kok’. Padahal kesenangan dan kebencian terhadap sesuatu amat relatif ukurannya. Bahkan ia acap sangat temporer. Sewaktu-waktu dapat menyenangkan bisa jadi pada waktu yang lain menjadi amat memuakkan. Bila parameternya seperti itu bisa jadi akan sering salah dalam memilih.

Islam telah menanamkan prinsip terhadap persoalan yang rumit dan harus ditentukan sikapnya dengan cara pandang imaniyah. Cara pandang ini mestinya menjadi mabadi’ (prinsip) yang mengikat dirinya dalam menentukan sebuah sikap. Cara pandang terbalik dengan kesenangan dan kecenderungan insaniyah. Sehingga kita melihat sesuatu itu yang tidak kita sukai justru di situlah pilihan yang paling baik. Atau sebaliknya kita memandangnya sesuatu itu amat menyenangkan justru itulah sesungguhnya itu sangat buruk bagi kita. Sebagaimana firman Allah SWT. “Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”. (QS. Al-Baqarah: 216).

Karenanya mabadi imaniyah harus mendominasi cara pandang seorang kader dakwah. Sehingga ia akan berpikir keras dan positif menyikapi persoalan yang ada. Sebuah pepatah memaparkan ‘Janganlah engkau membenci sesuatu karena suatu saat justru kamu menyukainya’. Memang hal itu sering terjadi. Akan tetapi cara pandangan kader adalah menilai bahwa kadang sesuatu yang tidak kita harapkan tapi sebenarnya di situlah kebaikan bagi kita. Hal ini memang tidaklah mudah. Apalagi cara pandangnya tidak berdiri di atas mabadi’ imaniyah.

Baca :   Dakwah Jahiliyah Versus Dakwah Islamiyah

3. Mengenal Resiko Pilihan (Ma’rifatu Atsaril Khiyarah)

Pilihan datang pasti bersama dampak dan akibat yang terkait dengannya. Apapun pilihan yang akan diambilnya. Dengan memandangnya secara mendalam akan kita temukan bahwa pilihan A resikonya begini atau pilihan B resikonya begitu. Bagi orang beriman resiko yang diambil adalah resiko yang memuliakan dirinya dunia dan akhirat. Sebagaimana yang diceritakan dalam Al Qur’an tentang Yusuf AS. di kala harus memilih apakah mau menerima ajakan sesat majikan wanitanya atau lebih memilih penjara sebagai akibat menolak ajakannya. Yusuf memilih yang mulia baginya. Penjara lebih disukai ketimbang harus menerima rayuan selera rendah majikannya. Sebab menerima bujuk rayu berarti predikat bejat dan hina akan menempel pada dirinya. Dan tidak mungkin disandang oleh seorang manusia pilihan, Nabi Utusan Allah SWT. Yusuf AS. memahami betul akan resiko berat yang akan ia dapatkan. Hidup dalam penjara yang penuh penderitaan dan kesakitan. Akan tetapi hal itu amat mulia baginya. Di samping memberikan pembelajaran untuk dirinya dan dapat mendekatkannya dengan umat dan masyarakat kebanyakan. Tentu ini akan membantu penyebar luasan dakwahnya. “Yusuf berkata:” Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan daripadaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh”. (QS. Yusuf: 33). Begitu pula yang dialami As Syahid Sayyid Quthb. Penjara dan hukuman mati malah memulai diri dan keluarganya. Bahkan kaum muslimin lainnya karena dalam penjara beliau mewariskan karya-karyanya yang monumental, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an.

Oleh karena itu seorang kader dakwah harus benar-benar cermat dalam memilih. Dan memperdalam pengamatan terhadap dampak dan resiko baginya serta orang-orang yang di sekitarnya. Tentu sebagai mukmin pilihan hidupnya adalah kemuliaan di sisi Rabbnya bukan kesenangan duniawiyah yang hanya sesaat. Ia tidak akan surut mengambil sebuah pilihan walau beresiko berat.

4. Penjagaan Kader Dakwah (Ri’ayatul Junud)

Pilihan juga terkait dengan generasi mendatang. Saat pilihan itu muncul maka pengamatan akan warisan bagi generasi mendatang juga menjadi hal yang patut diperhitungkan. Karena Islam memandang generasi mendatang sebagai pewaris dakwah ini yang akan menindak lanjuti tugas dan peran generasi sebelumnya. Sehingga kader dakwah yang sangat mahal itu dapat terselamatkan atas dampak buruk dari sebuah pilihan.

Dalam pandangan dakwah, kader merupakan asset yang luar biasa. Tidak dapat diukur dari sudut pandang material. Karena itu sewaktu ada kecelakaan kendaraan bermotor yang menimpa kader-kader dakwah seorang ulama dakwah sangat antusias menanyakan nasib murid-muridnya dan ikhwah yang mengalami musibah tersebut ketimbang menanyakan keadaan kendaraan miliknya meski kendaraan tersebut baru dibeli. Baginya seorang kader lebih berharga dari pada harta benda lainnya. Satu kader sangat mahal untuk dihargakan. Karena kualitas kader sama dengan sejumlah besar orang kafir. Bisa perbandingannya dua, sepuluh, seratus, seribu bahkan sekelompok orang.

Secara umum ajaran Islam mengarahkan agar memperhatikan nasib generasi yang akan datang. Karena merekalah nantinya yang akan melanjutkan dan menyempurnakan tugas yang diemban generasi sebelumnya. “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”. (QS. An-Nisa’: 9) Oleh karena itu perjalanan hijrah Rasulullah SAW. dilakukan setelah sekian banyak kaum muslimin datang ke Madinah terlebih dahulu. Kaum muslimin itulah yang pantas untuk mendapatkan tempat yang lebih layak dari sisi penjagaan dan keamanan.

Begitu penting sebuah pilihan dalam pandangan dakwah, sehingga Islam memberikan patokan (Ad Dhawabith) untuk memilih. Ia sebagai koridor agar menghasilkan pilihan yang tepat. Patokannya diantaranya:

Pertama, Nilai-nilai Ketuhanan (Al Qimatur Rabbaniyah), Untuk menentukan sebuah pilihannya patokan yang diajarkan Islam adalah nilai-nilai ketuhanan. Artinya menilai sesuatu berdasarkan pilihan Allah SWT. bukan menurut kecenderungan dan kepentingan sesaat. Sekalipun resikonya tidak ringan. Namun yang perlu diingat bahwa pilihan Allah SWT. akan menghantarkan pada kebaikan dan kemuliaan. Sebagaimana yang diceritakan Rasulullah SAW. tentang Masithah, wanita pembantu istana Firaun yang beriman kepada Allah SWT. Lantaran itu ia dieksekusi mati di kuali panas berisi minyak goreng mendidih. Saat akan menjalani eksekusinya ada rasa ragu dan takut. Perasaan itu menyelimuti dirinya. Hingga Allah SWT. memberikan keajaiban pada anaknya untuk berbicara. Sang anak mengingatkan ‘wahai ibu, sesungguhnya itulah tempat kemuliaan kita, jangan takut jangan ragu majulah wahai ibu’.

Kedua, Kesinambungan Dakwah (Istimrariyatud Da’wah), suatu pilihan juga harus mempertimbangkan kelangsungan dakwah. Bagaimana nasib dakwah ini ke depan. Apakah akan tegak kokoh atau rapuh lalu mati. Sebab dakwah merupakan representasi umat ini. tegak dan tidaknya amat mempengaruhi ruang gerak dan dinamika umat. Oleh karena itu pada masa Rasulullah SAW. keinginan sebagian sahabat yang akan mendeklarasikan keislamannya dicegah. Karena pertimbangan kelangsungan dakwah di kemudian hari. Bahkan Rasulullah SAW. melihat upaya deklarasi keislaman sebagai tindakan kontra produktif. Karena itu beliau meminta beberapa sahabat untuk kembali ke kampung halamannya untuk mendakwahkan Islam kepada masyarakatnya. Seperti yang diperintahkan beliau kepada Abu Dzar Al Ghifari. Ternyata apa yang dilakukan Abu Dzar RA. sangat produktif dengan dibuktikan sepuluh tahun berikutnya, suku Ghifari datang berbondong-bondong ke Madinah menyatakan keislamannya. Itu semua hasil dakwah sahabat yang dikembalikan pada asal daerahnya (ta’shil maqar).
Itulah pnadangan Syaikh Munir Muhammad Ghadhban dalam bukunya Manhaj Haraky Fi Siratin Nabawiyah. Syaikh menyatakan bahwa Rasulullah SAW. selalu mengambil sebuah keputusan atas pertimbangan kelangsungan dakwah dan efeknya terhadap dakwah. Bila sangat membahayakan kelanjutan dakwah maka beliau tidak akan memilihnya sebagai kehati-hatian beliau dalam memandang satu persoalan.

Ketiga, Kemashalahan Bersama (Al Mashalihul Ammah) Sebuah pilihan juga ditentukan atas pertimbangan kemashlahatan bersama. Sehingga lahirlah rumusan mana yang lebih mendatangkan mashlahat dan mudharat. Jika kemudharatan yang akan muncul maka rumusan adalah pilihan mana yang lebih ringan mudharatnya. Inilah pilihan buruk dari yang terburuk. Melalui cara penilaian ini kita dituntut untuk mengerahkan kemampuan berpikir dan menilai agar mendapatkan rumusan yang pas.

Keempat, Doa, Rasulullah SAW. telah memberikan arahannya saat harus memilih dengan berdoa pada Allah SWT. agar terhindar dari pilihan buruk. Beliau melakukan shalat istikharah dua rakaat dilanjutkan dengan memohon petunjuk-Nya agar mendapatkan pilihan yang baik bagi kemashalatan agama, diri, finansial dan akibatnya serta memohon dihindarkan dari pilihan yang buruk bagi agama, diri., finansial dan akibatnya. (HR. Bukhari).
Jika dhawabith ini menjadi sudut pandang kader maka kita tidak perlu bingung untuk menentukan sebuah pilihan meski pilihan-pilihan sulit. Termasuk saat kita harus memilih siapa yang kita pilih sebagai pemimpin kita dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dan mereka yang terbiasa mengambil langkah tepat dalam memilih merekalah sebagai umat pilihan. Bukankah kita umat pilihan?.

Wallahu ‘alam bishawwab.

Lihat Juga

Tentang Abu Faguza Abdullah

Hai orang-orang mu'min, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu. (Q.S. Muhammad: 7)

Lihat Juga

Jangan Sampai Hilang, Pewarisan Tarbiyah

serambiminang.com – Usia perjalanan dakwah tarbiyah di Indonesia boleh dikatakan tidak lagi muda. Dimulai pada …

Tinggalkan Balasan