KASURAU – Dari Dustur Ilahi
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS Alii Imran 103)
I-tsar
Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyah rahimahullah mendefinisikan i-tsar sebagai perbuatan yang mengutamakan kepentingan orang lain. Sedangkan dalam manhaj dakwah kita, i-tsar adalah tingkatan ukhuwwah yang tertinggi setelah lapang dada. Demikian Imam Hasan Al Banna menyebutkan dalam risalahnya.
I-tsar adalah sifat yang Allah sematkan kepada salah satu kaum terbaik setelah kaum Muhajirin, yakni kaum Anshar di Madinatul Munawaroh.
Kisah-kisah penuh iman dari para sahabat dalam meng-i-tsari kaum Muhajirin setelah Rasulullah mempersaudarakan mereka, telah memberikan banyak sekali pesan-pesan berharga kepada kita akan makna sebuah keimanan, cinta, dan pengorbanan. Kisah tentang i-tsarnya Sa’ad bin Rabi r.a kepada Ibnu Auf r.a adalah salah satu dari sekian banyak kisah yang mengharukan seputar i-tsar ini.
Menyikapi i-tsar tersebut, Allah ‘azza wa jalla berfirman dalam surat Al Hasyr ayat 9 yang artinya:
“Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Ansar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
Syaikh Muhammad Abdullah Al Khatib dan Muhammad Abdul Halim Hamid ketika menjelaskan mengenai i-tsar ini berkata:
“Al Akh yang tulus beranggapan bahwa saudara-saudaranya lebih berhak terhadap dirinya daripada dirinya sendiri. Karena bila ia tidak bersama mereka, maka ia tidak akan mendapatkan pengganti selain mereka. Sementara mereka, apabila tidak bersamanya, maka mereka akan bersama yang lain. Sesungguhnya serigala akan memangsa kambing yang terpisah dari rombongannya. Sesungguhnya, seorang mukmin dengan mukmin lainnya ibarat sebuah bangunan, sebagiannya menguatkan sebagian yang lain.”
Subhanallah walhamdulillah.
Sedangkan Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab Madarijus Salikin mengatakan bahwa i-tsar adalah kebalikan dari sifat kikir. “Orang yang mengutamakan orang lain berarti ia meninggalkan apa yang sebenarnya ia perlukan. Sedangkan orang kikir adalah orang yang menginginkan apa yang tidak ada di tangannya. Jika sudah mendapatkan apa yang diinginkannya, maka dia tidak mau mengeluarkannya”, demikian papar Imam Ibnul Qayyim rahimahullah.
Ikhwatal iman rahimakumullah
Bicara tentang kikir, Rasulullah saw bersabda yang artinya:
“Jauhilah oleh kalian kikir, karena kikir itu membinasakan orang-orang sebelum kalian. Ia menyuruh mereka kepada kebakhilan hingga mereka pun bakhil, dan menyuruh mereka kepada pemutusan hubungan persaudaraan, hingga mereka pun memutuskan hubungan persaudaraan.”
Sedangkan dalam hadits yang lain, Rasulullah saw bersabda kepada kaum Anshar :
“Sepeninggalku kalian akan menemui orang-orang yang suka mengutamakan kepentingan sendiri. Maka bersabarlah kalian hingga kalian bersua aku di alam kubur.”
Jadi, kita bisa simpulkan bahwa sifat i-tsar itu lebih dekat kepada kedermawanan dan sifat kikir itu lebih dekat kepada kebakhilan.
Tiga Tingkatan
Mengenai sifat-sifat kedermawanan ini, Imam Ibnul Qayyim membaginya menjadi tiga tingkatan; yakni sakha, jud, dan i-tsar itu sendiri.
– Sakha’ ialah jika miliknya tidak merasa terkurangi dan tidak merasa keberatan saat mengeluarkannya.
– Jud ialah memberikan lebih banyak dari miliknya dan menyisakan sedikit atau menyisakan jumlah yang sama dengan yang dikeluarkan.
– Sedangkan yang tertinggi adalah i-tsar, yakni memberikan semua miliknya kepada orang lain sekalipun ia memerlukannya. I-tsar yang paling rendah adalah pembiaran apa-apa yang bukan haknya, dan yang tertinggi adalah dengan mengorbankan jiwa raganya. Untuk yang terakhir ini, cukuplah kisah kepahlawanan Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam radhiyallahu ‘anhum ajma’in dalam menjaga Rasulullah dari serangan musuh ketika terjadi ujian di bukit ‘Uhud.
Ikhwahfillah rahimakumullah
Dalam mengaplikasikan sifat i-tsar, Allah sebenarnya tidaklah menuntut jumlah yang signifikan. Justru yang dituntut adalah keringanan/ketulusan hati ketika kita melakukan aktivitas yang mulia tersebut. Adalah hal yang sia-sia jika kita berbagi dalam jumlah yang besar tapi tidak disertai dengan hati yang tulus ikhlas. Oleh karenanya tidaklah heran jika Imam Hasan Al Banna meletakkan rukun tajarrud sebelum rukun ukhuwwah yang notabene adalah rumah besar dimana i-tsar ini bernaung dan tinggal di dalamnya.
Sebuah Kejanggalan (?)
Di dunia ini, kisah-kisah kedermawanan begitu berserak dalam kehidupan kita. Ada banyak buku yang menulis tentang kisah-kisah tersebut, ada peristiwa demi peristiwa mengagumkan yang kerap mengundak decak-kagum dalam diri kita ketika mendengarnya. Tapi uniknya (atau celakanya?) justru begitu sulit untuk menemukan kisah-kisah yang mengajari kita tentang tingkatannya yang terendah dari i-tsar. Kita menyebut tingkatan terendah itu sebagai shalamatus-shadr, atau bersihnya hati dari buruk sangka (lapang dada).
Betapa tidak, hanya karena adanya bisikan-bisikan yang tak jelas rimbanya, hanya karena ada lintasan-lintasan pikiran yang entah kemana arah tujuannya, dada yang harusnya kita lapangkan untuk menampung kesalahan dari saudara-saudara kita itu jadi begitu menyempit. Sesak. Seolah, tak ada ruang untuk mengubur kekhilafan saudara kita di sana.
Alkisah, ada seorang ikhwan yang tidak terima ketika dirinya dikoreksi oleh saudara-saudaranya sendiri, ada pula seorang ummahat yang tidak bisa menerima kesalahan mad’unya dan membicarakan aibnya itu dalam majelis-majelis dakwah, meski dengan berbisik, ada juga seorang akhwat yang tidak puas dengan keputusan syuro karena tidak sesuai dengan pemikirannya. Sungguh, adakah yang salah dalam pemahaman kita akan hakikat lapang dada ini?
Oleh karenanya tidaklah heran,jika kekhilafan demi kekhilafan itu dihamburkan di pinggir-pinggir jalan, dibicarakan secara serampangan di serambi masjid, diorasikan dalam pertemuan-pertemuan umum, dan digunjingkan dalam majelis-majelis ilmu. Berbantah-bantahan telah menghalangi sebagian kita dari produktifitas dan menjauhkan kita dari persatuan yang begitu dimuliakan oleh Islam. Sungguh, kemanakah sifat lapang dada itu dalam diri kita?
Firman Allah dalam Surat Al Anfaal ayat 46:
“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”
Ketika sebagian dari qiyadah kita berbuat khilaf, maka hal pertama yang bisa kita lakukan adalah mengingatkan dan meluruskannya. Tentu dengan cara yang terbaik dan meminimalisir lahirnya prasangka dan dugaan yang buruk. Kemudian ketika apa yang kita sampaikan itu tidak terakomodir sesuai dengan harapan kita, maka lapangkanlah dada kita, sikapilah dengan sikap sabar dan penuh hikmah. Bukan lantas karena sang imam berbuat khilaf kita lantas membatalkan shalat dan lebih memilik untuk shalat sendirian. Bukankah keberkahan itu ada dalam berjamaah? Bukankah lebih mudah bagi serigala untuk memangsa domba yang terpisah dari kawanannya?
Apakah melapangkan dada sebegitu sulitnya? Kenapa akhir-akhir ini kita begitu kikir dalam memberikan ruang di dalam dada kita untuk memaafkan kekhilafan saudara-saudara kita? Sungguh, sedikit sekali orang-orang yang mau mengambil pelajaran. A’udzubillah.
Kematangan Berukhuwah = Kematangan Berjamaah
Allah ‘azza wa jalla berfirman dalam surat Ash-Shaff ayat 4:
“Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.”
Ikhwahfillah rahimakumullah
Saat ini, jamaah kita tengah diguncang cobaan yang begitu keras. Baik cobaan yang berasal dari luar, bahkan dari internal jamaah ini sendiri. Sungguh, jika kita melihat fenomena itu dengan kacamata keimanan, maka ada banyak pelajaran berharga yang bisa kita dapatkan darinya. Salah satu yang ingin saya sedikit singgung pada kesempatan ini adalah tentang kematangan berjamaah.
Menjadi seorang muslim yang matang, baik secara keimanan maupun ketaqwaan, itu mudah. Buku-buku yang membahas tentang bagaimana menjadi muslim yang baik dan benar begitu banyak tersedia di sekitar kita. Tapi bagaimana dengan kematangan kolektif atau kematangan berjamaah? Tentu jalan menuju kesana tidaklah sesederhana jalan menuju yang pertama.
Para pakar manajemen mengatakan bahwa salah satu cara mengukur sejauh mana kematangan kolektif kita adalah ketika sebuah komunitas mengalami sebuah konflik. Mengapa bisa begitu? Karena dalam kondisi yang penuh ketidakpastian dan rawan akan terjadinya benturan, kita akan menemui saudara-saudara kita dalam sosok yang sebenarnya.
Dalam manhaj dakwah kita, – mungkin – mukhoyyam adalah sarana yang tepat untuk itu. Di sanalah, kita akan melihat wujud asli saudara seperjalanan kita, seperti apakah dia itu sebenarnya. Begitu juga dengan jihad siyasi, yang menjadi ijtihad dakwah kita. Kalau dulu aktivitas kita hanya berbenturan dengan satu dua pihak saja, maka dalam jihad siyasi ini, potensi pihak yang akan berbenturan akan lebih bertambah.
Nah, ketika gerbong dakwah kita berbenturan dengan begitu banyak ujian, di sinilah kematangan berjamaah kita itu akan diuji. Apakah hakikat ukhuwah yang kerap kita kaji dalam majelis-majelis tarbawiyah itu benar-benar bisa kita aplikasikan dalam realitas yang kita sama-sama jalani? Apakah kelapangan dada ketika pendapat kita ditolak, atau mengeluarkan harta dikala kita juga membutuhkannya benar-benar bisa kita lakukan? Wallahu ‘alam. Hanya kita dan Allah saja yang tahu.
Sebagai penutup, izinkanlah saya mengutip perkataan penulis buku Nazharatu fii Risalatit Ta’alim ketika membahas rukun ke sembilan dari Arkanul Bai’ah:
“Di antara keistimewaan yang membedakan Ikhwanul Muslimin dengan jamaah-jamaah lainnya adalah ukhuwah yang tulus karena Allah swt meskipun ukhuwah ini tidak sampai ke tingkat i-tsar, tetapi telah betul-betul mendekati i-tsar. Pemahaman ukhuwah seperti inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab keteguhan serta kekokohan mereka dalam menghadapi ujian paling berat yang menimpa mereka. Pemahaman yang utuh dan interaktif tentang ukhuwah islamiyah inilah yang menjadi asbab solidnya jamaah, sehingga tidak dapat diguncang oleh siapapun. Sebagian orang yang ingin mengganggunya telah binasa, tetapi ukhuwah karena Allah tetap eksis dan menghimpun barisan ini, sehingga tetap kokoh, solid, dan rapat. Boleh jadi ada pendapat berbeda dan bileh jadi muncul perbedaan semakin meluas, tetapi kemurnian ukhuwah tidak terkotori atau terkeruhkan olehnya. Boleh jadi syaithan datang untuk menebarkan kebencian, sebab syaithan tidak suka kalau terjadi kesatuan kata di antara kaum muslimin, maka syaithan berusaha mengganggu dan memecahbelah persatuan tersebut. Akan tetapi, Allah swt memberikan peringatan kepada kita dengan firmanNya:”
“Dan katakanlah kepada hamha-hamba-Ku: “Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya syaitan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.” (QS Al Israa 53)
Shadaqallah al adzhim.
Saya bukanlah orang terbaik dalam bidang ini. Tapi semoga apa yang saya sampaikan ini dapat menjadi tadzkirah bagi kita sekalian dalam menapaki jalan panjang dakwah ini. Amin.
Wallahu ‘alam.
Wahid Nugroho
Maraji’
– Al Qur’an Al Karim
– Madarijus Salikin, Ibnul Qayyim Al Jauziyah, Pustaka Al Kautsar
– Konsep Pemikiran Gerakan Ikhwan, M. Abdullah Al Khatib dan M. Abdul Halim Hamid, Asy Syaamil