KASURAU – Berbicara tentang cinta memang tidak akan pernah bisa untuk dituntaskan. Kali ini saya ingin menceritakan kisah cinta monumental yang menghiasi indahnya langit peradaban Islam.
Cintanya adalah cinta yang menggerakkan, bukan cinta statis namun dinamis. Cintanya berenergi dan dengan energy itu ia maju untuk bertemu dengan kekasihnya. Cintanya bukan cinta cengeng, bukan pula cinta lemah apalagi yang didominasi oleh syahwat Meski terjalin pada kurun waktu yang tidak lama, tapi ia sungguh romantis. Lelaki itu telah mencuri perhatian RabbNya. Dan memang itulah ambisinya. Tidak terlena oleh perhiasan dunia. Sore itu sama seperti sore-sore biasanya, tetapi tidak bagi Hanzhalah radhiallahu ‘anhu.
Hari ini adalah hari impiannya, ia mempunyai janji khusus pada sore itu, hari yang telah lama ia nantikan, hari dimana ia berjumpa dengan istri tercinta, Jamilah. Hari ini adalah hari ketika mereka berdua menjadi pengantin yang penuh bahagia. Inilah malam yang dinantikan oleh penganten yang baru menikah untuk menuntaskan rindunya. Semua bernilai amal ibadah disisiNya. Keringat mereka yang menetes pun menggugurkan dosa dosa. Dan Handzalah pun tidak menyia nyiakannya. Ia pun bermalam bersama istrinya. Bunga bunga cinta merekah diantara mereka berdua. Aduhai, betapa manisnya, betapa indahnya pernikahan hari itu. Aroma harum menghiasi detik demi detik Hanzhalah radhiallahu ‘anhu dan istrinya yang dipenuhi kerinduan. Sekian lama ia menahannya hingga saat itu nyatanya telah tiba. Air mata bahagia pun menetes tak terasa. Ia memeluk sang kekasih seperti seorang tamu yang hendak pergi untuk selama lamanya. Dan memang itu lah jalan yang ditempuhnya Sungguh kebahagiaan yang memesona. Ingin ia agar malam itu tidak cepat berlalu karena sudah lama ia menahan rindu. Ingin ia agar setiap hari adalah hari hari bulan madu. Akan tetapi kebersamaan itu sesingkat waktu. Sebab panggilan jihad telah datang di depan pintu.
Ya. Allah telah memanggilnya untuk itu. Rasulullah juga sudah mengingatkan tentang kabar itu. Hanzhalah menyatukan cintanya yang kecil dengan cinta yang besar, agar bisa memberinya kebesaran dan kehormatan. Dia memeluknya, agar cinta dari langit yang kekal menyatu dengan cinta manusiawinya yang fana. Hanzhalah radhiallahu ‘anhu mengaktifkan perhitungan dan perbandingan emosional itu di hati dan pikirannya. Dia mengambil keputusannya dengan cepat seiring hembusan fajar. Manakala dia menyimak panggilan jihad, dia pun keluar dengan segera. Ibarat macan yang memburu rusa dengan napas memburu.
Dalam keadaan junub, tidak menunggu mandi, dia bangkit di tengah air mata sang kekasih dan kerinduan hati yang haus akan pandangan istri tercinta. Dia bangkit, sementara kerinduan masih berdenyut seiring detak jantungnya. Rindu kepada saat-saat bertemu yang kemudian berlalu begitu saja dan berubah menjadi angan-angan semata. Meski sulit, tapi ia percaya dengan janji TuhanNya.
Hanzhalah pun berangkat. Dia telah menjadikan hawa nafsunya seperti tanah yang terinjak oleh kakinya. Cinta yang besar mengalahkan semuanya. Hanzhalah menang melawan dirinya, Hanzhalah menang atas hawa nafsunya. Hanzhalah sang mujahid, sang pengantin satu malam telah menyusul Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyusun barisan pasukan, menyusun barisan hati untuk dijual di jalan Allah. Dia bergegas mengambil peralatan perang yang memang telah lama dipersiapkan. Baju perang membalut badan, sebilah pedang terselip dipinggang. Siap bergabung dengan pasukan yang dipimpin Rasulullah SAW.
Hanzhalah turun ke pasar surga dan peperangan pun mulai berkecamuk. Berperang bersama Hamzah, Abu Dujanah, Zubayr, Muhajirin dan Anshar yang terus berperang dengan yel-yel, seolah tak ada lagi yang bisa menahan mereka. Bulu-bulu putih pakaian Ali, surban merah Abu Dujanah, surban kuning Zubayr, surban hijau Hubab, melambai-lambai bagaikan bendera kemenangan, memberi kekuatan bagi barisan di belakangnya. Tubuh Hanzhalah yang perkasa serta merta langsung berada di atas punggung kuda. Sambil membenahi posisinya di punggung kuda, tali kekang ditarik dan kuda melesat secepat kilat menuju barisan perang yang tengah bekecamuk. Tangannya yang kekar memainkan pedang dengan gerakan menebas dan menghentak, menimbulkan efek bak hempasan angin puting beliung. Musuh datang bergulung. Merimbas-rimbas. Tak gentar, ia justru merangsek ke depan. Menyibak. Menerjang. Nafasnya tersengal. Torehan luka di badan sudah tak terbilang. Tujuan utama ingin berhadapan dengan komandan pasukan lawan. Serang! Musuhpun bergelimpangan.. Takbir bersahut-sahutan. Lantang membahana bagai halilintar. Berdentam. Mendesak-desak ke segenap penjuru langit.
Hanzhalah terus melabrak. Terjangannya dahsyat laksana badai. Pedangnya berkelebat. Suaranya melenting-lenting. Kilap mengintai. Deras menebas. Berkali-kali orang Quraisy yang masih berkutat dalam lembah jahiliyah itu mati terbunuh di tangannya. Di awal perang, kemenangan pun sudah tampak dalam genggaman. Akan tetapi manakala para pemanah beranjak dari pos mereka, manakala penjual berubah menjadi pembeli maka timbangan peperangan pun berbalik. Orang-orang musyrik merangsek maju dengan barisannya yang kuat. Hanzhalah masih terus membuktikan cintanya yang besar kepada Allah, dan dia benar-benar membuat kita malu.
Sementara itu, dari kejauhan Abu Sufyan melihat lelaki yang gesit itu. Dia ingin sekali mendekat dan membunuhnya, tetapi nyalinya belum juga cukup untuk membalaskan dendam kepada pembunuh anaknya di perang Badar itu. Situasi berbalik, kali ini giliran Hanzhalah mendekati Abu Sufyan ketika teman-temannya justru melarikan diri ketakutan. Abu Sufyan terpaksa melayaninya dalam duel satu lawan satu. Abu Sufyan terjatuh dari kudanya. Wajahnya pucat, ketakutan.Pedang Hanzhalah yang berkilauan siap merobek lehernya. Dalam hitungan detik, nyawanya akan melayang. Tapi, dalam suasana genting itu, Abu Sufyan berteriak minta tolong, Hai orang-orang Quraisy, tolong aku.Namun, untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Syadad bin Al-Aswad yang memang sudah disiagakan untuk menghabisi Hanzhalah, berhasil menelikung gerakan hanzhalah dan menebas tengkuknya dari belakang.
Tubuh yang gagah dan tegap itu jatuh berdebum ke tanah, Para sahabat yang berada di sekitar dirinya mencoba untuk memberi pertolongan, namun langkah mereka terhenti.
Lantas orang-orang Quraisy di sekitarnya tanpa ampun mengayunkan pedangnya kepada Hanzhalah, dari kiri, kanan, dan belakang, sehingga Hanzhalah tersungkur. Dalam kondisi yang sudah parah, darah mengalir begitu deras dari tubuhnya, ia masih dihujani dengan lemparan tombak dari berbagai penjuru.Tak lama kecamuk perang surut. Sepi memagut. Mendekap perih di banyak potongan tubuh yang tercerabut. Ia syahid di medan Uhud. Di sebuah gundukan tanah yang tampak masih basah, jasadnya terbujur.
Hanzhalah radhiallahu ‘anhu pergi meninggalkan kita, meninggalkan darah yang harum, meninggalkan pelajaran tentang pengorbanan seorang hamba kepada Allahu Subhanahu wa Ta’ala. Membangunkan jiwa kita yang tertidur dan melecut semangatnya. Mengajarkan bagaimana menunggang kuda-kuda syahadah dan membuang kuda-kuda khayalan.
Hujan Rindu dari Langit
Perang telah usai, para mujahidin berjejer menyaksikan saudara-saudara mereka yang telah membeli surga dengan jiwa-jiwa mereka. Mereka mencari sahabat-sahabat mereka yang telah gugur. Hati yang selalu menunggu janji langit sedang mencari hati yang mendahuluinya ke langit. Tangan mereka meraba-raba jasad Hanzhalah yang berlumur darah. Mereka herang dengan tetesan air yang menempel di dahinya, menetes dari ujung rambutnya mengingatkan pada air mata Jamilah yang bersedih. Tetesan air yang masih menjadi misteri tak terpecahkan oleh para sahabat. Seandainya mereka tidak mendengar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “Aku melihat para malaikat memandikan Hanzhalah bin Abu Amir di antara langit dan bumi dengan embun di dalam bejana-bejana perak.”
Para sahabat kemudian membawa jenazah yang basah kuyup itu ke hadapan Rasulullah saw dan menceritakan tentang peristiwa yang mereka saksikan. Rasulullah meminta agar seseorang segera memanggil istri Hanzhalah. Begitu wanita yang dimaksud tiba di hadapan Rasul, beliau menceritakan begini dan begini tentang Hanzhalah dan bertanya: Apa yang telah dilakukan Hanzhalah sebelum kepergiannya ke medan perang? Wanita itu tertunduk. Rona pipinya memerah, dengan senyum tipis ia berkata: Hanzhalah pergi dalam keadaan junub dan belum sempat mandi ya Rasulullah! Rasulullah kemudian berkata kepada yang hadir. Ketahuilah oleh kalian. Bahwasannya jenazah Hanzhalah telah dimandikan oleh para malaikat.
Bayang-bayang putih itu adalah istri-istrinya dari kalangan bidadari yang datang menjemputnya.Dengan malu-malu mereka (para bidadari) berkata; Wahai Hanzhalah, wahai suami kami. Lama kami telah menunggu pertemuan ini. Mari kita keperaduan.
“Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih?. (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya, niscaya Allah mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam surga Adn. Itulah keberuntungan yang besar.(QS 61:10-12). Beruntunglah Hanzhalah, syuhada yang telah dimandikan oleh para malaikat. Dia memperoleh kedudukan yang tinggi di haribaan Allah SWT. Itulah sebaik-baik tempat yang tidak semua orang mampu meraihnya. Nabi Bersabda, “Allah SWT berfirman: Tiada balasan bagi hamba-Ku yang berserah diri saat Aku mengambil sesuatu yang dikasihinya di dunia, melainkan surga.” (HR Bukhari)
Kenangan Sang Kekasih
Jamilah terus mereguk kenangan akan pertemuan singkat yang terpatri dalam jiwanya. Senandung kasih abadi mereka berdua tidak mungkin dilupakan wanginya, masih tercium di tempat tidurnya. Wajahnya terpampang di atap kamarnya. Setelah kedua matanya tenteram dengan cahaya kematian syahid suaminya, dia masih membayangkan melihatnya di negeri langit. Jamilah masih menceritakan kepada para tetangga bahwa dia melihat Hanzhalah sesaat sebelum malam pernikahannya. Bagaimana mimpi itu bisa menjadi kenyataan. Jamilah bermimpi melihat langit terbelah untuk Hanzhalah, maka dia masuk dan setelah itu langit pun menutup lagi. Sepertinya mimpi ini menghakhawatirkan Jamilah. Dia melihat mimpi itu membawa awan kelam dan ketakutan. Hingga dia meminta kepada empat orang kaumnya untuk menjadi saksi bahwa Hanzhalah telah benar-benar menikah dengannya. Siapa sangka bahwa mimpi yang dia takutkan membawa keburukan dan karenanya dia berantisipasi dari fitnah dan tuduhan ternyata justru membawa kabar gembira dari langit dan memberikan kepadanya predikat istri seorang syuhada.
Begitulah energi cinta Handzalah. Ia tidak terpukau oleh kenikmatan dunia. Sebab dalam hatinya yang terdalam, cinta kepadaNya telah bertahta sejak lama.
Fauzul Izmi
Penulis Buku Potret Ikhwan Sejati