serambiMINANG.com – “Persatuan Indonesia”, begitulah bunyi sila ke 3 dari pancasila yang dijadikan dasar negara oleh para pendiri bangsa ini. Rakyat indonesia yang ratusan juta, ribuan budaya, enam agama resmi sangat memungkinkan untuk tidak bersatu, tapi justru Indonesia termasuk negara yang damai.
Islam yang menjadi agama mayoritas penduduk Indonesia tetap tidak menjadi diktator karena kemayoritasannya, justru Islam menjadi guru toleransi dan perdamaian di bumi NKRI. Lihat saja betapa karena untuk menjaga persatuan, para ulama tetap tidak bertindak kasar ketika tujuh kata dalam sila pertama dihapuskan “menjalankan syriat Islam bagi para pemeluknya”. Seharusnya ini menjadi pelajaran berharga bagi para penerus bangsa.
Beberapa bulan belakangan hal yang bertolak belakang justru dicontohkan oleh para petinggi-petinggi negeri ini, seperti menteri agama, tak terkecuali yang terhormat Bapak Presiden Joko Widodo dan wakil Presiden Jusuf Kala ikut ambil bagian dalam mengusung hal yang sangat kontroversial dan mengundang ketidak ber-satuan bangsa indonesia.
Belum hilang goresan bacaan al quran dengan langgam jawa, kemudian muncul Islam Nusantara dan toleransi yang tidak toleran terhadap umat muslim, lalu sebagai pelengkap sang wakil presiden pun ikut ambil bagian dengan mengatakan “Suara kaset ngaji dimesjid menyebabkan polusi suara”.
Selayaknya selaku pimpinan negeri yang kaya budaya ini, ini adalah sikap yang tidak patut sekali dilakukan oleh Pak Jusuf Kalla, bahkan tak sampai disitu, beliau membentuk tim pemantau pengeras suara dimesjid. Dengan seabrek tugas kebobrokan moral yang ada di indonesia maka tak pantas ketika ‘kaset ngaji’ yang sudah menjadi kebiasaan untuk mengingatkan shalat berjamaah dimesjid mendapat perlakuan yang sangat tidak intelek dari seorang Jusuf Kalla.
Tidak intelek karena kebiasaan masyarakat yang memutar kaset ‘ngaji’ telah menjadi budaya bagi sebagian masyarakat sebagai pertanda waktu adzan sudah dekat ternyata tidak begitu dipahami oleh orang yang posisinya sebagai Wakil Presiden. Ataukah melarang kaset ngaji hari ini sudah relevan ketika pergelaran “miss Indonesia” “ miss Universe ” yang merupakan legitimasi terhadap pengumbaran aurat berkedok seni dan intelektual dibolehkan bahkan didukung oleh pemerintah. Atau apakah pelarangan kaset ‘ngaji’ lebih penting dibandingkan paham sesat ‘syiah’ dan ‘komunis’ yang jelas-jelas mengancam keutuhan NKRI.? Sedangkan para ulama yang memiliki ilmu dan pemahaman tidak pernah melakukan hal demikian.
Kaset ngaji disebagian daerah pada dasarnya mengingat dan mengajak masyarakat untuk shalat berjamaah dimesjid. Kalau mesjid ramai, hampir bisa dipastikan pengeras suara mesjid akan berkurang perlahan dengan sendirinya. Karena masyarakat sudah menyadari pentingnya shalat berjamaah dimesjid. Pertanyaanya, apakah pemimpin negeri ini pernah memikirkan bagaimana caranya agar masyarakat yang beragama Islam yang agamanya sama dengan bapak Jusuf kalla untuk shalat berjamaah dimesjid? Dan sejarah telah menjadi bukti bagaimana mesjid menjadi pusat peradaban, namun tidak ada regulasi ketat yang mengatur agar umat muslim dapat berjamaah shalat di Masjid.
Kita menyadari betapa kerusakan akhlak telah menjangkiti umat Islam negeri ini, sedikit nilai Islam yang masih melekat, maka itu adalah budaya. dan salah satu budaya itu adalah kebiasaan masyarakat yang memutar kaset ngaji dimesjid-mesjid, sebagai upaya untuk mengingatkan masyarakat akan nilai-nilai Islam, sungguh sangat disayangkan ketika tindakan berseberangan muncul dari penguasa.