Beranda / Sastra / Cerpen / Menantang Tuhan

Menantang Tuhan

menantang-TuhanserambiMINANG.com – “Bodoh kalian!”

Seorang Profesor berteriak didepan ruang kuliah sambil menatap marah ke seluruh penjuru ruangan.

Setiap mahasiswa di dalam ruangan berubah pucat dan tertunduk pasrah mendengar setiap kosakata yang keluar dari mulut sang guru besar.

Kemarahan sang Profesor bermula ketika tak ada yang berani mengangkat tangan disaat ia bertanya,

“Siapa yang berani menantang Tuhan.?”

Hari itu adalah hari pertama perkuliahan di awal semester lima bagi mahasiswa di salah satu perguruan tinggi kenamaan.

Malang bagi mereka, karena perkuliahan harus dimulai dengan suasana yang kurang ramah.

Papan tulis masih bersih, namun sang Profesor yang pernah mendapat penghargaan nobel itu merasa perlu memulai perkuliahan dengan pertanyaan yang cukup kontroversial, karena menurutnya Tuhan hanya menjadi penghalang manusia untuk berkembang.

Di depan ruang kuliah itu sang Profesor mengatakan kepada seluruh mahasiswa bahwa Tuhan hanya menjadi alasan bagi para penakut dan pemalas untuk berlindung dari ketidakmampuan. Lebih dari itu, dia juga mengatakan bahwa Tuhan juga menjadi alasan manusia saling bertikai.

Ruang kuliah yang dipadati oleh mahasiswa menjadi begitu hening, hanya suara sang Profesor yang memonopoli suasana diskusi.

Hingga seorang mahasiswa mengangkat tangannya.

“Bagus.!! Akhirnya ada mahasiswa yang berani mengambil langkah bijak”, sang Profesor menjadi begitu senang.

“Perhatikan kalian! Tirulah dia”, telunjuknya mengarah ke mahasiswa yang masih menjadi orang yang sendirian mengangkat tangannya.

Seluruh mata di dalam ruangan serentak mengarah ke sang mahasiswa dengan rasa penasaran.

Seluruh mahasiswa lain yang berada di ruangan mengenal sosok pria yang saat ini menjadi pusat perhatian.

Dia adalah Faruq, pemuda yang dikenal pandai dan santun.

Faruq dikenal sebagai orang yang tidak banyak bicara dikalangan teman-temannya namun kali ini dia merasa perlu mengangkat tangan ketika yang lain diam.

“Maaf pak, Saya bukan ingin menantang Tuhan. Tapi Saya ingin menantang bapak.” ucap Faruq yang membuat seisi ruangan resah bercampur heran.

Seluruh mahasiswa yang mengenal Faruq sebagai sosok yang cukup kritis jika menyangkut urusan agama. Apa yang dilakukan Faruq tidak mengejutkan bagi mereka yang mengenalnya.

Namun tidak bagi sang Profesor yang baru saja kembali dari luar negeri setelah beberapa tahun menjadi pengajar disana.

“Apa katamu?!” ucap Profesor dengan nada meninggi.

Wajah bahagia yang sebelumnya ditunjukan Profesor kembali berubah murka, rasa bangga pada sang mahasiswa yang mengangkat tangannya kini sepenuhnya sirna.

“Bagaimana kamu ingin menantang Saya, haa.?! Kamu sadarkan sedang berhadapan dengan siapa??!” ucap Profesor yang bangga dengan segenap pencapaiannya.

Faruq dengan santai berdiri dan berjalan mendekati Profesor.

“Jika Prof berkenan. Mari kita keluar.”

“Baiklah” sambut Profesor menerima tantangan dari mahasiswa yang belum memiliki deretan gelar di namanya.

Seluruh ruangan yang tadinya hening mendadak gaduh dengan suara kursi-kursi yang bergeser dan saling beradu karena mahasiswa yang ikut keluar mencoba mengikuti langkah Faruq dan Profesor.

Setelah melihat suasana sekitar dan sampai di lapangan kampus yang luas Faruq menghentikan langkahnya.

Mahasiswa lain yang mengikuti sejak ruang kuliah kini mengelilingi mereka bagai orang yang ingin melakukan kuliah di alam terbuka.

Hampir seluruh mahasiswa berfikir bahwa Faruq akan menantang sang Profesor berkelahi, begitu juga sang Profesor yang telah mengikutinya dengan penasaran dan bersiap jika mahasiswanya itu ingin memulai perkelahian.

“Baiklah Prof, sebelum Profesor mengajak kami menantang Tuhan, Saya ingin Prof menghadapi mahluk ciptaan Tuhan.” ucap Faruq sambil melipat lengan bajunya yang panjang.

“Hahaha..!” sang Profesor tertawa dengan sombong karena pada akhirnya dia merasa hanya berhadapan dengan seorang fanatik yang primitif karena hanya mampu mengandalkan otot.

“Jadi kamu membawa Saya ke lapangan ini karena ingin megajak Saya berkelahi? Kamu kira Saya tidak bisa beladiri.”

“Oh. Begitukah yang Prof duga? Bukan. Saya ingin Prof berhadapan dengan itu” sambil menunjuk lurus kearah langit.

Profesor menatap langit dengan heran “jadi kamu ingin Saya menghadapi apa?” bertanya penasaran karena tidak menemukan mahluk apapun melintasi langit yang saat itu sedang panas terik tanpa tertutupi awan.

“Saya ingin Prof menantang matahari. Dengan kemampuan Profesor sendiri, Saya ingin Prof membuat ia padam”

Merasa mendapat tantangan yang aneh Profesor menjadi begitu marah “gila kamu.!!! Kamu ini mahasiswa, lantas mengapa menyuruh Saya melakukan hal yang bodoh?!”

“Bagaimana bisa Saya membuat matahari yang sangat jauh itu padam? Jangankan buat ia berhenti bersinar, jika di sini saja kita kepanasan, apalagi mendekat kesana.”

“Bukankah Prof ingin menantang Tuhan.? Lantas mengapa mengeluh dengan ciptaan-nya?” ucap Faruq

“kenapa Prof tidak mencoba menghinanya atau meludahinya, mungkin ia akan berhenti bersinar karena merasa dihina.” lanjut Faruq

“Kamu idiot ya?!! Sudah Saya bilang jarak matahari itu sangat jauh dan kita tidak bisa mendekat, dan kamu menyuruh Saya meludah kearah langit dan berharap bisa mengenainya?! Kamu tau gravitasi kan? Jika Saya meludah ke langit tentunya akan kembali mendarat ke bumi karena gaya gravitasi”

“Baiklah, jika Prof tak mampu menantang matahari Saya minta Prof menghadapi yang lain.”

“Yang lain?!!”

“Ya. Saya ingin Prof berhadapan dengan itu.” Faruq mengarahkan jarinya ke lubang semut yang berada di dekat mereka.

“haha. Kamu ingin Saya membunuh semua semut itu? Mudah saja.”

Mendengar jawaban sang Profesor, Faruq pun tersenyum.

“Apa begitu yang Prof sangka.?”

“Saya ingin Prof menyebutkan berapa jumlah pasti semut yang berada di dalam lubang itu tanpa menggalinya dan memastikan usia setiap semut di dalam sarang itu tanpa membunuhnya”

Mendengar sekali lagi permintaan aneh datang dari mahasiswa yang menantangnya sang Profesor membentak keras hingga setiap mahasiswa yang berada di kejauhan menoleh kearah kerumunan yang dari tadi berdiri di lapangan terbuka.

“Apa kamu ingin mengerjai Saya?! Setelah kamu mengajak Saya keluar kamu menyuruh Saya melakukan hal-hal bodoh di ruang terbuka ini dihadapan mahasiswa lain.!”

“Setelah kamu meminta Saya memadamkan matahari, sekarang kamu ingin Saya menghitung jumlah semut di dalam sarangnya. Apa hubungan semua kebodohan itu dengan tantangan Saya pada Tuhan?!”

“Prof, jika Prof tidak mampu membuat matahari padam atau terhina dengan setiap perbuatan yang mampu Prof lakukan, lantas mengapa merasa mampu menantang Tuhan dan ingin menghinakannya?”

“Dan jika Prof tidak mampu mengetahui apa yang tersembunyi di dalam lubang yang kecil itu, lantas mengapa merasa mampu mengetahui dan menandingi segala kuasa Tuhan.?”

“Prof ingin menantang Tuhan. Namun tak mampu menandingi ciptaan-Nya. Lantas bagaimana mungkin kami menantang pencipta dan menjadi loyal pada anda sebagai ciptaan-Nya”

“Bukankah apa yang Prof lakukan seperti meludah ke arah matahari yang saat ini panasnya terasa di atas kepala kita. Matahari tak akan berhenti bersinar meski kita memaki bahkan mencoba meludahi. Karena makian dan ludah yang kita berikan hanya akan kembali kepada kita dan mengganggu orang di sekitar kita” ujar Faruq mencoba menjelaskan tantangan yang sudah dia berikan.”

“Owh. Jadi begitu pendapat Mu.”

Tak ingin merasa kalah di hadapan mahasiswa lain karena dirasa akan menjatuhkan kredibilitasnya sebagai Profesor. Sang Profesor membalasnya dengan melontarkan pertanyaan kepada Faruq.

“Jika kamu fikir Tuhan tidak mampu dihinakan oleh apa yang Saya lakukan. Lantas kenapa kamu repot-repot menantang Saya karena apa yang Saya lakukan? Bukankah berarti kamu juga tidak yakin bahwa Tuhan mampu membela diri nya sendiri.”

Baca :   MUI: Lebih Penting Fatwa Hukum Pemimpin Ingkar Janji Daripada Pengeras Suara di Masjid

Faruq menatap panjang ke arah Profesor yang masih tak ingin kalah itu.

“Hmmm. Bapak punya anak?” tanya Faruq

“Ya, Saya punya seorang puteri bernama Magenta yang sekarang sekolah di SMA Internasional.”

“Kalau Ibu yang melahirkan bapak? Dimana beliau?”

“Beliau saat kini sedang berlibur di Belanda, kenapa kamu tanya itu?”

Suasana mendadak hening. Teriknya mentari kini tertutupi oleh awan kecil yang membayangi tepat di tempat mereka berdiri. Seluruh mahasiswa yang dari tadi menjadi penyimak ikut membeku memperhatikan Faruq dan Profesor yang saling bertatapan.

Faruq kemudian berteriak keras. Hal yang jarang dilakukannya dihadapan teman-teman yang mengenalnya.

“Hai kalian semua, dengarkan!!!” teriak Faruq sambil berjalan kecil berkeliling memperhatikan mahasiswa yang berada di kejauhan yang penasaran dengan suara gaduh yang dibuat Faruq

“Profesor ini bilang puterinya bersekolah di SMA Internasional. Jadi jangan heran kalau anaknya terbiasa dengan seks bebas…!!”

“Ibu sang Profesor sekarang berada di Belanda. Mungkin sedang berfoya-foya meninggalkan anak dan cucu demi orang asing disana.”

Mendengar suara nyaring Faruq yang menfitnah Puteri dan Ibunya, amarah yang tadinya mulai mendingin bersama teduhnya langit kembali mendidih, sang Profesor berlari menghampiri Faruq dan melayangkan pukulan tepat di wajahnya.

Teman-teman Faruq yang dari tadi menjaga jarak dengan mereka berlari mendekat dan berusaha menahan tubuh Profesor yang meronta-ronta ingin kembali melayangkan pukulan ke wajah mahasiswa yang dianggap lancang itu.

“Kenapa kamu melakukan fitnah itu sialan…?!”

Faruq yang sempat tertunduk karena pukulan yang diterimanya kembali berdiri. Dia memang telah menduga bahwa akan mendapat pukulan dari tindakan yang dia lakukan.

“Bapak marah?” Faruq bertanya dengan polosnya seakan meledek sang Profesor yang menatapnya tajam. Bibir yang lecet karena dihantam kepalan tangan Profesor diabaikannya.

“Bapak dan anak waras mana yang tidak marah ketika Puteri dan Ibunya dihina.!!!” ucap Profesor yang berhenti meronta dari pegangan mahasiswa lainnya.

“Bukankah Puteri dan Ibu yang melahirkan Bapak tidak disini? Bahkan mereka tidak mendengar apa yang saat ini kita bicarakan.”

“Mereka tidak dengar. Tapi Saya dengar.!!!”, sanggah Profesor dengan nada kesal

Dengan tersenyum Faruq menatap wajah sang Profesor yang saat ini tidak lagi dipegangi oleh mahasiswa lain.

“Bapak benar. Karena begitulah cinta.”

“Cinta bapak pada mereka yang membuat bapak membela mereka meski mereka tak ada disini.”

“Dan jika anak yang dibesarkan dan Ibu yang melahirkan pantas mendapat cinta sebesar itu. Bukankah Tuhan yang telah menciptakan kita dan memberikan berbagai nikmat juga pantas untuk mendapat cinta dan pembelaan yang bahkan lebih besar.”

“Maka itulah alasan kami membela Tuhan meski dia tak akan mampu diluka.”

Mendapat penjelasan dari mahasiswa yang telah dipukulnya, sang Profesor terdiam sejenak. Namun ternyata rasa angkuh lebih pekat di dalam hatinya yang tak ingin kalah dari mahasiswa hingga kembali berusaha mempertanyakan peran Tuhan.

“Jika Tuhan begitu berkuasa, lantas mengapa dia membiarkan dirinya selalu menjadi alasan untuk manusia saling bertikai?”

“Akuilah kalau Tuhan yang sedang kamu bela hanya rekaan manusia dan tidak pernah memberikan solusi bagi permasalahan. Sejak dulu Tuhan hanya menjadi alat bagi para penguasa untuk memaksakan kehendak mereka”

Mendengar pernyataan sang Profesor yang masih tak mau kalah Faruq menghela nafas panjang.

Dia hampir bosan mendengar setiap argumen Profesor yang sudah kehilangan wibawanya.

“Prof. Boleh Saya minta sebungkus rokok”

“Oh. Jadi kamu sekarang ingin merokok.? Haha. Baiklah. Kebetulan Saya baru membeli rokok yang belum sempat Saya buka. Ini untukmu saja” sang Profesor melempar sebungkus rokok ke arah Faruq.

Faruq menerima sebungkus rokok yang dilempar Profesor. Dia memperhatikan seluruh kemasan yang masih tersegel.

Seluruh teman yang berada di sekitarnya menatap ke arah Faruq. Mereka bingung karena belum pernah melihat Faruq merokok sebelumnya.

“Prof. Bisakah membaca tulisan di belakang bungkus rokok ini?” ucap Faruq menunjuk ke arah tulisan kotak yang berwarna mencolok yang bertuliskan,[Merokok dapat menyebabkan kangker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin]

“Ya, Saya bisa.” ucap Profesor yang sudah tidak lagi menggunakan nada yang tinggi, mungkin dia sudah terlalu letih karena dari tadi bicara keras menunjukan keangkuhan. Atau juga mulai berfikir tentang apa yang selama ini dia perdebatkan.

“Hmmm. Tulisan ini ada di setiap bungkus rokok yang Prof beli. Namun kenapa Profesor tidak berhenti merokok?”

“Prof, hal ini serupa dengan apa yang Prof tuduhkan pada Tuhan.”

“Tuhan telah memberikan peringatan, perintah, dan larangan melalui qur’an dan hadits rasul-nya. Namun kita manusia yang terlalu sombong hingga berani mengingkari.”

“Bukan Tuhan yang membiarkan manusia bertikai. Tapi kesombongan manusia yang tidak mau mengengarkan apa yang telah Tuhan sampaikan”

“Prof. Tidak perlu beriman pada Tuhan untuk berbuat kerusakan. Cukup jadi orang yang serakah dan sombong maka kejahatan apa yang tidak bisa dilakukan.”

“Dan Prof, Tidak perlu mengingkari Tuhan untuk menerima pengetahuan. Karena bagaimana mungkin kita menerima pengetahuan jika sombong pada yang maha tahu”

“priiiiit..! Priiiit..!”, suara peluit security kampus yang datang dari kejauhan. Datang bagai wasit yang menghentikan pertandingan.

“Maaf, Saya tadi menerima laporan kalau ada keributan disini.” ucap security kepada seluruh orang yang sedang berkumpul. Profesor menatap panjang ke arah Faruq sambil terdiam. Mudah baginya untuk menyuruh security menyeret mahasiswa yang dari tadi menentangnya itu.

“Oh. Tidak ada apa-apa. Kami sedang melakukan kuliah di alam terbuka” ucap Profesor kepada security yang dari tadi berdiri menunggu penjelasan.

“Baiklah anak-anak sekalian. Kuliah hari ini kita sudahi” kata sang Profesor bagai tak ada apapun yang terjadi sebelumnya. Dia pun pergi menjauh dari kerumunan mahasiswa yang dari tadi setia menjadi penyimak perdebatan antara Faruq dan Dia.

Seluruh mahasiswa memperhatikan Profesor yang melangkah semakin menjauh dari pandangan. Mereka tak mendengar pengakuan kalah dari sang Profesor yang telah memulai semua kegaduhan. Namun langkah kakinya yang lemas dan kepalanya yang tertunduk bagai seorang petinju yang kalah telak di atas ring menjadi gambaran yang tak bisa dielak.

Faruq menerima senyum bangga dari teman-temannya yang memapahnya ke klinik kampus untuk mendapat perawatan luka di bibir.

Teman-teman Faruq memintanya untuk berbaring sejenak di klinik setelah melalui hari yang cukup melelahkan.

“nit nit.nit nit.” Suara handphone Faruq menerima pesan singkat dari nomor baru yang tak terdaftar di hp Faruq. Faruq membaca pesan yang diterimanya

“Maaf telah memukul kamu tadi.
Bisakah kamu ajarkan Saya mengaji.?

Profesor”

Ternyata sms itu datang dari Profesor yang menjadi lawannya berdebat tadi.

Kawan Faruq yang melihat senyum di wajah Faruq tak tahan untuk bertanya.
“sms dari siapa tadi.?” tanya robin, salah satu teman Faruq yang dari tadi menemaninya di dalam klinik.

“Unta merah.” jawab Faruq

Senyum Faruq semakin lebar menghela nafas panjang dan menatap langit-langit klinik yang berwarna putih.

Dia memejamkan mata sejenak meninggalkan teman-temannya kebingungan dengan sms yang baru diterima.

Sekian

Lihat Juga

Tentang Burhanizain Fitra

Works at Trend News, Dompet Dhuafa Volunteer and photografer

Lihat Juga

Menjaga Semangat Kebangkitan Umat

serambiMinang.com – Pergolakan kebangkitan umat Islam ini merupakan perkara yang sangat besar. Dimana setelah berpuluh …

Tinggalkan Balasan

Menantang Tuhan - Serambi Minang