serambiMINANG.com – Menikmati hidup bukan hanya ketika dihadapkan pada tragedi atau bencana, tapi pada gelak tawa juga dilema atas persimpangan pilihan. Setidaknya menjadi hidup itu tidak melulu ketika hal buruk menimpa namun ketika hal tersulit dalam hidup mempertemukan kita pada kenyataan bahwa tidak ada yang bisa dipilih diantara 2 pilihan.
Kala mitsaaqon gholidzoh menggelayut erat untuk segera disambut persimpangan itu begitu jelas terlihat. Pensiun dini sebagai bujang ataukah melanjutkan eufhoria kesendirian yang tak bisa dibagi dengan cinta dan sayang? Yah keluarga menurut saya adalah media tempat berkumpulnya euphoria masalah dan perih getirnya kebahagiaan.
Dimana pundak bukan lagi tempat menggantungnya baju dan tas, tetapi juga tempat bermainnya beban dan tanggung jawab. Hati tidak lagi tempat lalu lalangnya darah namun juga tempat parkirnya cemburu, teriakan anak-anak, rayuan capai tetangga dan cemoohan tuntutan hidup.
Sebelum semua itu terjadi alangkah beratnya berdiri di sebuah persimpangan timbangan pemberatnya seperti terkadar oleh beratnya shalat istikhoroh diujung-ujung malam. Kala pilihan didepan mata namun tak hanya 1 yang bisa dipilih. Eiittss….walau sering ditolak pada akhirnya saya pun harus memilih 2 akhwat yang harus saya jadikan ustadzah rumah saya..asyik to..hhehehe
menikah itu mudah
Begitu menurut seorang rekan, ketika saya harus memulainya dengan sebuah syarat yang diajukannya “kalau serius temui orang tua saya!” dalam status perantau saya harus mendatangi beberapa kota yang asing bagi saya. Berdiri di bordes kereta api untuk segera sampai ditempat tujuan yang tak pernah kutuju sebelumnya. Mencoba menyelami setiap kata dan berkhayal tentang masa depan. Mereka-reka wajah dan tabiat si calon tujuan. Menyiapkan mental dan keberanian tuk dapat duduk sopan didepan keluarga besarnya. Yang menjadikan perjalanan ini hebat saya melakukannya seorang diri karena saya perantau.
Menikah itu mudah
Menurut yang sudah mengalaminya, bagi seorang bujang sulit adalah hanya dalam bayangan. Bagaimana tidak semua bayangan dan khayalan yang saya rangkai ketika didalam gerbong kereta terbukti salah total. Tak ada satupun kenyataan yang saya alami yangs eusai dengan khayalan itu. Dengan wajah sumringah camer mempersilahkan saya masuk walau baju saya ala kadarnya dan berbau besi lantai bordes gerbong. Mempersilahkans aya mandi dan makan, kemudian menyodorkan setangkup harapan tuk meminang putri tercantiknya.
Hanya saja diakhir kisah itu sang camer juga menyodorkan sekaleng cat tembok dan kuas agar membantunya mengecat rumah, entah ini sebuah barokah atau kesialan. Karena kebetulan tidak ada lelaki lain dirumah itu selain bapaknya si ‘tersangka’.
Menikah itu mudah
Bukan jagoan namanya kalau datang kerumah camer tanpa membawa oleh-oleh, dan nyatanya saya memang bukan jagoan. Karena saya hanya membawa badan dan mental yang koyak dikanan kirinya, toh bukan pula halangan tuk ‘memaksa’ camer menerima semua permintaan saya. Walau permintaan saya agak ‘kurang ajar’ dengan mencoba mengambil hak asuh anak pertamanya. Namun disinilah hebatnya seorang wali ketika jawaban yang diberikannya adalah “saya tidak sedang berdagang dengan kamu tentang anak saya, namun apa jaminan saya bahwa anak saya akan bahagia melayani kamu?”
Itu bukan perkara mudah untuk dijawab ternyata.
Menikah itu mudah
Menurut sebagian besar orang perlambang sebuah pernikahan itu adalah sepasang cincin yang tersemat dijari manis pasangan pengantin. Dan pada awalnya bagi saya itu adalah sebuah keharusan hingga tak saya dapati beberapa nash yang mendalilkannya hingga pada ujungnya tak saya dapati selembar uang didompet tuk menebus beberapa suku (disumatera takaran emas menggunakan istilah suku) tuk kujadikan mahar. Apalah dikata symbol adalah polemic bagi setiap perantaraan, tiada yang pasti sebenarnya apa yang dimaksud symbol selain hanya menjadi perlambang identitas.
Ternyata harga ‘mas’ jawa jauh lebih mahal, kata camer kala itu.
Menikah itu mudah
Mengingat adat sumatera yang sering digembar-gemborkan membuat dompet saya kembang kempis. Pesta besar, 3 hari 3 malam, ‘nyangoni’ sanak keluarga, adat meminta, dan lains ebagainya hamper meruntuhkan tekad bulad saya tuk mengakhiri masa lajang. Apa boleh buat jalan terbaik saat ini adalah menurunkan ego, menyerah pada kejujuran dan terbuka atas segala kondisi.
Anak seorang guru SD di daerah terpencil menyatakan niat meminang puteri seorang raja, dimanakah logika saya ? dimanakah letak kewarasan saya ketika menjalani ini? Saya tidak sedang menanyakan kondisi keimanan kala itu yang begitu menggebu akan pernikahan dengan niat mengurangi keinginan berzina. Namun dimanakah logika saya dengan kondisi materi yang begitu timpang?
Ah saya lupa kala itu akan syarat memilih seorang wanita harus dari agamanya, terlebih dahulu. Yang saya tahu saya bukanlah tandingan keluarga besar itu…
Ternyata perbedaan saya dan keluarga itu adalah pada penafsiran makna “kaya”.
Menikah itu mudah
Setelah semua persiapan dilakukan, dan semua permintaan dicukupi, hal yang paling penting malah kulupakan. Saya lupa menyisakan uang untuk mendatangkan orang tua saya dari jawa timur ke sumatera selatan. Ditengah segala kekalutan dan kecemasan Allah mendatangkan prajurit terbaiknya tuk membantu saya, teman-teman yang awalnya menganggap semua beres terlihat kaget ketika mendapati calon pengantin tak sesumringah seharusnya.
Masalah pasti sedang menggelayut, yang akhirnya tak kuasa kutahan sendiri beban tersebut. Prajurit-prajurit itulah yang mendatangkan orang tua saya ke sumatera selatan dengan cepatnya, prajurit itulah teman-teman terbaik saya. Menikah itu mudah karena akan banyak prajurit-parjurit yang akan membantu anda melewatinya…percayalah pada kehebatan persaudaraan/ukhuwah..!
Menikah itu mudah
Tapi tak semudah seperti yang anda bayangkan, karena saya yakin anda membayangkan yang sulit dan sukar bahkan sesuatu yang belum anda alami kesukarannya. Saya tak mengatakan semudah seperti kenyataannya namun juga tak sesulit yang ada dalam bayangan anda.
Mas Ichang