serambiMINANG.com – Bulan syawal 1436 Hijriah, seluruh umat muslim merayakan hari kemenangan, hari raya idhul fitri yang hampir serentak dilaksanakan di Indonesia. Namun hal yang memilukan justru terjadi di hari raya Idhul Fitri ini. Umat muslim di Tolikara dilarang oleh Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) secara sepihak, dan di ‘biarkan’ oleh pihak berwenang (Pemerintah, Polres) dengan tembusan surat pelarangan yang terdapat dalam surat pelarangan tersebut.
Hingga pada puncaknya terjadi pembakaran mesjid dan rumah warga ketika pelaksanaan ibadah shalat idhul fitri di tolikara tersebut. Hal yang mengherankan adalah tanggapan yang berbeda terhadap kasus yang mau tidak mau sudah mengatas namakan ‘agama’, Gereja Injili Di Indonesia (GIDI).
Ketika tindakan yang terkesan ‘keras’ dilakukan oleh umat muslim maka media beramai-ramai melabeli ekstremis, radikal, ataupun terorisme kepada Islam. Masalahnya, arus informasi yang begitu deras seringkali membuat masyarakat tidak berdaya (powerless), sehingga ‘latah’ memgikuti kampanye islamophobia tersebut.
Dalam kasus GIDI ini justru pemberitaan berbeda dan cenderung melemahkan pemaknaan fakta yang sebenarnya terjadi dilapangan. Bahkan metronews.com sempat mengubah judul berita yang diposting pada halaman website beritanya, dengan judul “saat imam takbir pertama, sekelompok orang datang dan lempari mushala di tolikara” diganti menjadi “Amuk masa terjadi di tolikara”. Jelas sekali perbedaan fakta yang digambarkan dengan judul tersebut. Seolah dengan judul berita ini ada fakta yang ‘disembunyikan’ secara halus oleh metronews.com.
Hal yang lebih tidak terpuji dilakuakan oleh tempo.co yang membuat judul pemberitaan “semua korban adalah jemaah GIDI”. Pertanyaan yang paling mendasar adalah, ada kepentingan apakah media-media sebesar metronews.com dan tempo.co dalam membuat pemberitaan seperti ini? Bahkan hal ini menambah catatan metro sendiri sebagai media massa nasional dalam pemberitaan yang menyudutkan Islam.
Dalam pemberitaan terhadap kasus GIDI hampir tidak ada media massa nasional yang menyatakan penyerangan itu dilakukan oleh kristen “radikal, ekstremis, militan” ataupun label lainnya yang biasa dipakai ‘media’ untuk menyudutkan Islam.
Beberapa tanggapan yang syarat akan pembelaan terhadap GIDI ataupun penudingan yang kebablasan juga muncul dari tokoh yang menamai dirinya cendekiawan bahkan wakil presiden Jusuf Kalla tak mau ketinggalan. Kordinator Jaringan Islam Liberal (JIL) Ulil Abshar dalam akun twiternya menyatakan kesinisannya “jangan hanya protes saat rumah ibadah kita diganggu tapi diam saja saat rumah ibadah milik umat atau sekte lain diganggu
Sementara wakil presiden Jusuf Kalla (JK) dengan latahnya menyebutkan bahwa penyerangan ini terjadi karena pemakaian speaker yang mengganggu. Perkataan JK ini terkesan ASBUN (asal bunyi) karena secara fakta dilapangan, warga muslim Tolikara tidak menggunakan speaker. Dan hal yang logis dari sikap JK adalah ketidak senangan JK sendiri, entah itu kepada Islam itu sendiri ataupun kepada umat Muslim dalam menjalankan agamanya.
Bukankah ini kekerasan atas nama agama?? Bahkan melanggar kebebasan beragama yang terdapat dalam uud 1945 pasal 29 ayat 2.
Hal berbeda justru kita lihat ketika tindakan tegas yang dilakuan oleh ormas islam, sebut saja FPI, bagaumana gencarnya media mainstrean memberitkannya radikal, ekstrem. Bahkan AS ikut memberitakan FPI dengan pemberian label ekstremis dan militan.
Ada apa dengan barat?, dan apa hubungannya dengan indonesia (muslim)??
Islamophobia sejak terjadi peristiwa WTC di AS, seringkali menunggangi media masa untuk mengkampanyekan bahwa ‘Islam’ adalah musuh bersama, dan seolah melupakan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan AS terhadap irak dan afghanistan.
Bahkan hari ini yang mengusung islamophobia di negeri yang katanya penuh ‘tolerasnsi’ ini telah diperankan oleh pribumi sendiri, mulai dari yang menamakan dirinya ‘cendekiawan’, lembaga-lembaga yang didanai oleh barat, ‘tokoh’pemerintahan, bahkan menjadi penumpang gelap diberbagai ormas Islam yang perlahan menduduki posisi penting dalam organisasi tersebut.
Belum hilang bau luka pada tragedi Tolikara. Pada 27 Juli 2015 seperti yang diberitakan republika.co.id tentang pertemuan Perdana Menteri Inggris dan Presiden Jokowi. Presiden menyambut baik ditandatanganinya empat kesepakatan kerja sama. Pertama, di bidang maritim, kedua, di ruang angkasa sipil, ketiga, pemberantasan terorisme dan kejahatan lintas batas. Keempat, kemitraan riset dan inovasi.
Dalam topik ini yang dibahas adalah tentang kerjasama pemberantasan terorisme. Justru tindakan separatisme dan terorisme GIDI seolah tak mendapat perhatian serius dari pemerintah. Pertanyaannya adalah siapakah yang disepakati oleh inggris ataupun amerika sebagai terorisme tersebut?
Maka secara empirik jawaban pertanyaan ini mengarah kepada ‘Islam’. Walaupun sepanjang catatan sejarah, yang benar-benar demikian adalah tidak ada. Justru pembunuhan warga palestina oleh Israel atas restu Amerika Serikat tidak pernah masuk dafatar teroris yang harus diperangi, meski secara fisik israel telah menjajah palestina.
Pengkampanyean Islamphobia di Indonesia kini telah memasuki babak baru. Pundi-pundi penyebarannya pun telah bermetamorfosis. Seperti Jaringan Islam Liberal (JIL) yang kini nampaknya lebih fokus pada konsep Islam Nusantara nya, meski pemikiran-pemikiran mereka tetap sama.
Islam Nusantara cenderung dibandingkan dengan nama Islam ‘arab’ yang di gambarkan dengan peperangan timur tengah. Sedangkan Islam Nusantara dikesankan dengan Islam cocok dengan Indonesia. Lalu apakah benar demikian? Benarkah Islam Arab berbeda dengan Islam Nusantara?
Inilah keganjilan pemikiran terhadap Islam yang di usung oleh oknum-oknum yang mengaku cendekiawan. Sebagaimana dikutip dari jpnn.com Said Aqil Siraj menjelaskan “Secara garis besar, menurut dia, Islam Nusantara tidak akan mengajarkan seseorang menjadi radikal. “Tidak akan mengajarkan permusuhan dan kebencian. Tapi, mengajarkan Islam yang ramah dan bisa berjalan seiring dengan budaya peradaban di Indonesia yang juga santun,” paparnya.
“Yang jelas, Islam di Indonesia itu sangat berbeda dengan Islam di Timur Tengah, dan itu akan diperkokoh dalam muktamar NU dalam waktu dekat,” tandas Said Aqil.
Dan sedikit banyaknya konsep Islam Nusantara telah menopang penggalangan kampanye Islamophobia di NKRI. Setiap elemen apakah itu dari pejabat pemerintah yang muslim, ulama yang senantiasa berada di atas al quran dan sunnah, para cendekiawan muslim kini dituntut bekerja keras agar wacana ini tidak dikembangkan menjadib liar, terutama oleh pemerintah dan media massa. Kita bisa belajar bagaiamana wacana pelabelan negatif terhadap umat Islam setelah skenario tragedi WTC (11/9/2001).
Wallahu a’alam