serambiMINANG.com – Pada dasarnya hukum menikah adalah sunnah, karena menikah merupakan sunnah para nabi dan rasul, sebagaimana dinyatakan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya,
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً
“Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum engkau (Muhammad) dan Kami berikan kepada mereka istri-istri dan keturunan.” (QS. Ar-Ra’d [13]: 38)
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“Aku menikahi wanita. Barangsiapa yang tidak suka dengan sunnahku, maka dia bukanlah dari golonganku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Ada yang menyatakan bahwa menikah hukumnya wajib sekali seumur hidup.
Maksudnya, jika seorang lelaki telah menikahi seorang wanita dan telah menuntaskan hasratnya, lalu mencerainya, maka ia tidak wajib menikah lagi, karena kewajibannya telah gugur.
Pendapat yang benar adalah bahwa pada hukum asal menikah itu sunnah, tetapi di dalamnya memiliki kemungkinan lima hukum sekaligus; wajib, haram, sunnah, makruh dan mubah dengan melihat situasi dan kondisi pelakunya.
Nikah hukumnya wajib; ketika seseorang mengkhawatirkan dirinya jatuh dalam perzinaan jika tidak menikah, yang mana secara psikologis dan ekonomi dia mampu melangsungkan pernikahan tersebut.
Nikah hukumnya haram; jika seseorang berada di dar al-harb (negara musuh), karena ada kekhawatiran anak dan keturunannya diculik.
Nikah berhukum makruh; jika secara psikologis dan ekonomi seseorang tidak mampu melangsungkan pernikahan.
Bahkan, dalam kondisi ini bisa-bisa menikah hukumnya haram, karena akan membuatnya super sibuk untuk mencarikan nafkah bagi anak istrinya dan menceburkan dirinya dalam hutang yang sebenarnya bisa dihindari tanpa menikah.
Nikah berhukum mubah; jika seseorang kaya dan sebenarnya tidak memiliki hasrat untuk menikah. Dia boleh menikah, tetapi tidak karena dorongan kita, mengingat ia tidak memiliki keinginan untuk itu.
Dan nikah berhukum sunnah dalam kondisi selain di atas.
Jadi, pada dasarnya menikah itu dianjurkan bagi mereka yang memiliki keinginan, memiliki kecukupan materi untuk memberi nafkah dan tidak mengkhawatirkan dirinya berzina. Jika dia takut berzina maka hukum menikah baginya adalah wajib.
Imam Al-Bukhari menyebutkan firman Allah Ta’ala,
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ
“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi.” (QS. An-Nisâ` [4]: 3) sebagai dalil anjuran menikah.
Ayat ini tidak secara langsung menunjukkan perintah, tetapi merupakan penjelasan dari firman Allah Ta’ala sebelumnya yang berbunyi,
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ
“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi.” (QS. An-Nisâ` [4]: 3).
Maksudnya, jika kalian takut tidak bisa berbuat adil terhadap wanita yatim dan tidak bisa memberikan kewajiban lainnya, seperti maskawin dan lainnya maka nikahilah wanita-wanita lainnya.
(Syarah Shahih Al-Bukhari)