serambiMinang.com – Dalam kehidupan sehari-hari, kita temui banyak orang yang suka memberi bantuan kepada orang lain. Di antara mereka ada yang ikhlas memberi karena Allah ada pula yang memberi karena ingin dipuji. Bahkan, yang lebih buruk adalah mengungkit pemberian kepada orang lain.
Banyak faktor yang menyebabkan seseorang melakukan sifat buruk ini. Di antaranya adalah membanggakan diri kepada yang dia berikan bantuan.
Al-Qurthubi berkata, “Mengungkit-ungkit pemberian biasanya dilakukan oleh orang yang bakhil dan membanggakan diri sendiri. Orang yang bakhil merasa bahwa pemberiannya sudah banyak meskipun yang diberikannya hanya sedikit.
Sementara itu, orang yang membanggakan diri sendiri, maka sifat ujub mengarahkannya kepada melihat diri sendiri dengan pandangan kebesaran dan menganggap bahwa dengan hartanya ia telah memberikan nikmat kepada orang yang diberi, meskipun orang yang diberi lebih mulia dari yang memberi.
Faktor yang menyebabkan mereka berdua bersikap demikian adalah kejahilan dan melupakan nikmat Allah yang telah diberikan kepadanya.
Andai saja ia merenungkan kemana ia akan kembali, niscaya ia mengetahui bahwa sebenarnya yang akan menyebut-nyebut pemberian itu adalah yang menerimanya, karena ia mendapatkan banyak manfaat dari pemberian tersebut.” Demikian penjelasan yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar.
Syaikh Al-Utsaimin mengatakan, mengungkit-ungkit pemberian tidaklah demikian. Tidak diragukan lagi bahwa sikap tersebut berasal dari orang yang memberi. Namun, seorang manusia tidak boleh mengungkit-ungkit pemberiannya.
Oleh sebab itu, ketika Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memperingatkan kaum Anshar bahwa dahulunya mereka adalah orang-orang yang miskin lalu Allah membuat mereka kaya.
Dahulunya mereka terpecah-belah lalu Allah menyatukan hati mereka, setiap kali beliau mengatakan sesuatu, mereka berkata, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih berhak mengungkit-ungkit pemberian.”
(Syarah Shahih Al-Bukhari)