Bidadari Tak Bersayap - Serambi Minang
Beranda / Serba Serbi / Bidadari Tak Bersayap

Bidadari Tak Bersayap

bidadari-tak-bersayap

serambiMINANG.com – Hari ini adalah hari yang cerah bagi seluruh mahasiswi kampus kami. Mereka semua datang demi tujuan mulia, ingin memajukan Islam dan menyebarkan kebenaran ke seluruh pelosok negeri dan dunia. Kami semua terbang dari kos dan rumah kami dengan sayap yang berbentuk kotak dan yang lainnya. Yah, kami adalah bidadari tak bersayap.

Kami menjalani hari seperti biasanya begitu pula dengan saudari seperjuangan kami dengan nama indahnya, Alifah Sakinah. Nama yang sangat cocok dengan kepribadiannya. Wanita kelahiran tahun 1990 ini sangat patuh pada agama dan pula rajin menghafal dan menghayati Al-Qur’an. “Gadis dengan beribu malaikat yang mengelilinginya di setiap waktu,” tukasku.

Sungguh indah menatap wajahnya walau ia tak berparas cantik layaknya para aktris, tapi kelembutan dan kesuciannya tergambar jelas di wajahnya. Wajah yang tertutup kain itu selalu membuat rindu untuk menatap.

Alifah, mahasiswi yang sangat disegani oleh setiap orang, disayangi oleh teman-temannya, dan dicintai oleh seluruh dosen karena tutur katanya dan rasa hormatnya. Alifah adalah panutan bagi kami semua.

Seperti biasa, aku mengajak Alifah makan di kantin di waktu istirahat. Tak ada sikap yang berberbeda hari ini dan hari-hari sebelumnya. Setelah makan kami berlarian kembali ke kelas karena bel masuk telah berdering.

Dan, lagi-lagi kami harus mendengarkan nasihat indah dari setiap asatidzah yang masuk kelas, hingga rasanya berat untuk meninggalkan kampus yang amat ku cintai ini dengan beribu mutiaranya.

Bel pulang kuliah telah berbunyi. Aku ajak Alifah untuk pulang bersama seperti biasanya tapi ia menolak dengan lembut, rupanya ia akan belajar di perpustakaan.

“Wah, memang rajin yah Alifah ini,” tukasku dalam hati.

Setelah berpamitan, kami berpisah. Kuputuskan untuk berbelanja di mal depan kampus. Tak terasa aku telah menghabiskan satu setengah jam di dalam mal yang memang membuat lalai. dengan sedikit tergesa-gesa aku keluar mal. Saat aku keluar mal, aku lihat jalan telah penuh oleh manusia dan banyak mobil termasuk mobil berwarna merah. Ada gerangan apa ini? Seingatku dua atau empat bulan yang lalu memang ada seorang gadis yang menyebrang dan tertabrak. Tapi pemerintah pasti sudah mengambil tindakan, kuatku dalam hati.

Namun, rasa penasaran terus memaksaku pergi ke TKP (tempat kejadian perkara). Aku putuskan menyebrang dan melihat apa yang terjadi.

Kulihat seorang gadis berbaju hitam lengkap dengan kerudung dan cadarnya tergeletak di tanah dan darah telah menggenang di sekililingnya. Aku coba memperhatikan lebih detail. Aku rasa aku sangat mengenal baju dan postur tubuh ini.

Aku coba pinta pada polisi yang telah berjaga di TKP untuk memastikan apakah dia adalah temanku. Setelah lama aku bernegosiasi, polisi mengizinkan aku melihatnya .

Baca :   Terlalu Cepat Menyimpulkan

“Astaghfirullah.”

Aku menjerit ketakutan dan mundur selangkah. Kemudian aku dikuatkan oleh satpam wanita yang bekerja di kampus. Aku setengah tak percaya Alifah yang tadi pagi masih sehat segar bugar. Tidak, bukan tadi pagi tapi berapa jam yang lalu.

Aku terus mengangis tak terhentikan terbayang bagaimana kami selalu menghabiskan waktu bersama dan tertawa dalam kebahagiaan dan menangis saat merasa berdosa. Alifah yang sangat aku banggakan. Kini sosoknya akan menghilang dari hadapanku selamanya. Kemudian bu Satpam mengatakan padaku kalau Alifah masih dapat kesempatan untuk hidup. Tak lama datang ambulans. Aku mewakili masuk dan mendapat kesempatan menjaga Alifah di rumah sakit. Setelah pengobatan dan pengecekan Ct Scan. Kemungkinan Alifah akan lumpuh seumur hidup; karena ada bagian otaknya yang terbentur keras dan rusak dan juga tulangnya patah.

Setelah mendengar penjelesan bu Satpam, aku baru tahu ternyata kejadiannya baru beberapa menit aku keluar dari mal. Singkatnya, Alifah ingin menyebrang, tanpa disadari ada mobil yang melaju cepat ke arahnya. Ia tidak cepat bertindak, dan naasnya tubuh mungilnya terseret mobil setelah ditabrak. Mungkin ia terseret tidak jauh, tapi luka dari tabrakan tadi sangatlah parah.

Kini, Alifah koma di kamar inap bersamaku dan beberapa orang lainnya. Buru-buru aku kirim pesan pada teman-temanku untuk menjenguknya melalui SMS, Whatsapp, dan BBM.

Sejam berlalu, setelah sebagian temanku berkunjung. Selama menunggu teman-teman, aku putuskan mengulang hafalanku. Di samping, berniat agar Alifah bangun atau sedikitnya mengikuti di bawah alam sadarnya. Tak terasa, jam telah menunjukkan pukul 3 sore dan telah memasuki waktu Ashar. Teman-teman dan dosen banyak yang datang berkunjung.

Tepat jam 4.00 pm Alifah sesak nafas, kemudian dosen mentalqinkannya tepat di telinganya. Perlahan Alifah bergerak-gerak dan seraya lidahnya mengikuti talqin. Tak lama ku lihat mata Alifah melihat lurus ke atas, kemudian tersenyum lebar seraya menyambut sesuatu. Alifah pergi meninggalkan kita semua.

Semua yang datang menangis disusul orang tuanya yang barus saja tiba dari rumahnya yang jaraknya cukup jauh dari Jakarta. Kemudian dosen menutup mata Alifah dan mendoakannya. Lalu kami melaksanakan shalat ghaib. Dosen sedikit memberikan nasihat kepada kami semua. Kejadian yang sangat cepat berlalu ini sangat membekas pada setiap mahasiswi.

Banyak kejadian yang telah terjadi di jalan ini. Jalan yang biasa digunakan para bidadari untuk terbang ke majelis ilmu. Dengan sayap yang tidak nyata, kami melewati jalan ini. Banyak pula bidadari yang terluka di jalan besar ini. Selamat jalan bidadari.

Cerita fiktif ini ditulis oleh seseorang terinsipirasi dari kisah nyata untuk mengenang sahabatnya. Semoga bermanfaat.

Lihat Juga

Tentang Bani Sulaiman

Lihat Juga

Siapakah Ratu Para Bidadari Surga?

serambiMINANG.com – Ibnu qayyim Rahimahullahu, menyebutkan dalam sebuah hadis sahih dalam Musnad Imam Ahmad, bahwa …

Tinggalkan Balasan