Tuntunan Islam dalam Memilih Pemimpin
Oleh: Abu Fatih Ar-Rantisi
“Orang Islam yang tidak peduli pada politik akan dipimpin oleh politisi yang tidak peduli pada Islam”
(Necmettin Erbakan, Mantan PM Turki)
Islam adalah agama yang syamil (sempurna). Semua urusan di dunia ini sudah ada aturannya dalam Islam. Sebagaimana firman-Nya, ““Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu.” (Al-Maaidah: 3). Mulai dari kita bangun tidur sampai kita mau tidur lagi, syariat Allah SWT sudah begitu lengkap. Bukan hanya ibadah mahdhah (ritual), tapi juga perkara ekonomi, bisnis, pendidikan, sosial, budaya, kesenian, semuanya sudah ada rambu-rambunya dalam Islam.
Begitu juga politik, agama yang mulia ini sudah punya panduannya. Bila ada yang bilang Islam nggak ngurusin politik, berarti mereka sudah menuduh Islam ini tidak sempurna dan menuduh Allah juga “khilaf”. Naudzubillah mindzalik. Kalau ada yang bilang, Islam ini tidak boleh masuk ke politik mereka adalah kaum SEKULER. Persis seperti Mustafa Kemal Pasha yang meruntuhkan Kekhalifahan Turki Utsmani atas sokongan Freemasonry dan Zionis Yahudi.
Muslim Wajib Berpolitik!
Maka menghadapi Pilkada Serentak, yang akan digelar 9 Desember mendatang. Umat Islam tidak boleh diam. Kaum muslimin tidak boleh apatis dan acuh. Sebab ini menentukan nasib daerah kita 5 tahun mendatang. Kalimat “Ah, siapapun yang naik sama saja. Payah jugaknya awak carik makan” adalah kalimat berbahaya yang menandakan bahwa si pengucapnya telah berputus asa dari rahmat Allah SWT. Padahal Allah sudah tegaskan dalam Qur’an, “Dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir”. (QS. 12:87)
Di Antara Pilihan-Pilihan yang Sulit
Memang terkadang kita dihadapkan pilihan yang sulit. Rasa-rasanya tidak ada calon pemimpin yang berkualitas. Sering kita menganggap semua politisi itu sama saja, sama-sama rakus harta dan haus kekuasaan belaka. Namun bisa jadi, kita mengira demikian karena kita belum kenal dengan orang-orang yang baik saja. Siapa sangka sekarang Sumatera Barat punya gubernur yang berprestasi dengan 140 penghargaan nasional sekaligus sukses mendidik 10 anaknya jadi hafiz Qur’an? Siapa sangka kota Bandung punya walikota muda energik penuh inovasi seperti Ridwan Kamil? Bisa jadi di lingkungan kita ada juga yang seperti mereka, tapi kita tak mengenal kebaikannya. Bisa jadi karena beliau memang seorang tawadhu’ yang tak ingin riya, namun bisa pula karena konspirasi media yang tak ingin orang-orang shalih tampil ke panggung politik. Kata Mantan Perdana Menteri kita yang merupakan aktivis Masyumi, Mohammad Natsir, “Islam beribadah akan dibiarkan, Islam berekonomi akan diawasi, Islam berpolitik akan dicerabut hingga ke akar-akarnya.”
Dalam ilmu ushul fiqih, ada kaidah yang berbunyi “wadhidduhu tazakumul mafasiddi fartakibul adna minal mafasid”. Maknanya adalah apabila ada dua mudharat, maka kita ambil yang paling sedikit mudharatnya atau keburukannya. Mungkin semua tampak sama, tapi ada beberapa hal yang harus kita perhatikan dengan cermat dan seksama.
Berikut Ini Beberapa Panduan Islam dalam Menentukan Pilihan
Pertama, pilih yang mampu dan berkualitas.
Sebagaimana Rasulullah memilih sahabat yang kompeten untuk menjadi gubernur atau para panglima. Begitulah kita harus memilih. Memimpin sebuah kota bukan perkara gampang. Butuh keterampilan dan pengalaman untuk mengelolanya. Tak bisa sosok yang sebelumnya tak dikenal, tidak punya kiprah sosial di masyarakat, ujug-ujug muncul jadi calon bupati/walikota. Rasul tak pernah mengangkat mereka yang karbitan semacam itu.
Perhatikanlah sejarah penaklukan dalam Islam. Sultan Muhammad Al Fatih yang menunaikan mimpi 8 abad untuk membebaskan Konstantinopel adalah hasil tempaan sejak dini. Mulai dari usia belia ia sudah dibina Syaikh Aaq Syamsuddin. Begitu juga Shalahuddin Al Ayyubi yang membuka Baitul Maqdis di Palestina adalah hasil kaderisasi dari gurunya Nuruddin Zanki. Mereka berdua sudah jauh-jauh hari masuk ke medan politik dan militer sehingga betul-betul mampu mengemban amanah kepemimpinan.
Kedua, jangan pilih mereka yang meminta jabatan.
Dalam hadits shahih Muslim, Dari Abu Musa berkata, “Saya dan dua orang anak pamanku menemui Nabi saw. Salah seorang dari keduanya lalu berkata, “Wahai Rasulullah, angkatlah kami sebagai pemimpin atas sebagian wilayah yang telah diberikan Allah Azza Wa Jalla kepadamu. Dan seorang lagi mengucapkan perkataan serupa, maka beliau bersabda “Demi Allah, sesungguhnya kami tidak akan memberikan jabatan bagi orang yang meminta dan yang rakus terhadapnya.”
Politik ini adalah cerita tentang pengabdian. Maka terasa aneh jika ada orang yang sudah berulangkali kalah dalam Pemilu/Pilkada tapi tetap berhasrat menjadi Bupati/Walikota. Apalagi kalau orangnya sebelumnya tidak pernah berjamaah atau berorganisasi. Orang yang demikian biasanya tidak punya visi yang jelas kecuali retorika indah di mulut belaka. Lalu apa yang dicari sebenarnya? Sungguh ridha Allah saja yang pantas kita tuju. Maka dialah yang mendatangi partai-partai agar sudi mengusungnya. Beda dengan orang yang maju menjadi calon karena diberi amanah oleh partainya. Setidaknya, ia maju bukan karena nafsu pribadi, melainkan karena tugas dari partainya supaya bisa mengoptimalkan perbaikan.
Ketiga, jangan pilih pemimpin yang lemah.
Dari Abu Dzar berkata, saya berkata: Wahai Rasulullah, tidakkah anda menjadikanku sebagai pegawai (pejabat)? Abu Dzar berkata: Kemudian beliau menepuk bahuku dengan tangan beliau seraya bersabda, “Wahai Abu Dzar, kamu ini lemah (untuk memegang jabatan) padahal jabatan merupakan amanah. Pada hari kiamat ia adalah kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi siapa yang mengambilnya dengan haq dan melaksanakan tugas dengan benar.”
Dari hadits ini sebenarnya jelas bahwa pemimpin itu harus kuat, baik dalam pengertian harfiah secara fisik (kesehatannya) maupun pengertian luas seperti kekuatan manajerialnya. Kalau pemimpin kita lemah fisiknya, jangan harap ia bisa menyapa rakyat, blusukan ke kampung-kampung. Orang seperti ini tak akan bisa kita harap seperti Umar bin Khattab yang rela ronda malam diam-diam untuk mengetahui kondisi warganya, lalu karena dia lihat ada seorang ibu mendiamkan anaknya yang kelaparan dengan merebus batu, ia memanggul sendiri karung gandum dari gudang Baitul Maal. Bayangkan kalau kita memilih pemimpin yang lemah fisiknya, memberikan kata sambutan saja tak sanggup berdiri lama-lama. Konon lagi mau blusukan!
Dalam pengertian yang lebih luas, pemimpin yang lemah bisa juga bermakna orang yang tak punya kemampuan manajerial (mengelola). Daya tahan dan daya dukungnya dari kalangan orang-orang baik kurang. Akibatnya apa? Ia hanya akan menjadi PEMIMPIN BONEKA. Secara simbolis dialah bupati/walikota, namun sebenarnya bukan dia yang mengendalikan, melainkan CUKONG yang memberinya modal saat kampanyelah yang akan menyetir semua kebijakan sesuai kepentingannya. Ini sangat berbahaya sekali, bisa-bisa APBD kita dikuras untuk kepentingan pribadi/kelompoknya.
Keempat, jangan pilih yang memusuhi ummat Islam.
Tak bisa dipungkiri bahwa dalam perjalanan sejarah al-haq (kebenaran) dan al-bathil akan selalu bertarung hingga hari kiamat. Di masa orde lama, ada PKI yang nyata-nyata membunuhi kyai dan santri, melecehkan Allah, Rasul-Nya dan kitab Al-Qur’an yang mulia. Sekarangpun di DPR RI jelas-jelas reinkarnasi PKI juga kembali hadir. Mereka hendak menyingkirkan agama dari Indonesia. Mereka dulu menolak UU Pornografi, menolak UU Zakat, ingin minuman keras dijual bebas, mau seks bebas dibolehkan asal suka sama suka, ingin menghapus kolom agama dari KTP serta melegalkan perkawinan beda agama sampai ke membolehkan perkawinan sejenis. Naudzubillah. Sungguh menjijikkan!
Mereka berkolaborasi dengan kalangan liberal (yang menganggap semua agama itu sama) dan Syiah Rafidhah (yang mengkafirkan kita ummat Islam ahlussunah waljamaah) simpatisan rezim bengis Bashar Al-Assad yang sudah membantai ummat Islam di Suriah sana. Plus didukung pendanaan dari berbagai lembaga asing, klop sudah modal mereka merusak Indonesia.
Mereka sejatinya adalah perusak. Tapi karena polesan media, mereka tampak seperti pahlawan. Inilah yang patut diwaspadai ummat Islam. Lihat baik-baik calon bupati/walikota kita. Lihatlah siapa saja kelompok pendukungnya? Bisa saja calon bupati/walikota kita tampak seperti orang alim. Kemana-mana pakai peci. Bahkan disebut ustadz, juga rajin ceramah. Tapi lihat siapa di belakangnya? Kalau di belakanganya adalah para preman, agen judi dan bandar narkoba, maka tinggalkan. Kalau dibiarkan, ketika memimpin nanti niscaya kemaksiatan akan semakin merajalela. Sebaliknya lihatlah kemana para ulama yang lurus cenderungnya. Ulamanya bukan sekedar gelar, tapi mereka yang perilakunya jadi teladan, shalat subuhnya senantiasa di masjid. Periksalah kemana orang-orang shalih ini memihak. Bersamailah mereka… Pilih calon pemimpin yang mendukung dakwah Islam, mensupport pendidikan kader ulama.
Bukankah kadang kita melihat, ada sosok calon bupati yang disebut ustadz namun kampanyenya menghadirkan penyanyi wanita bertubuh seksi dengan rok mini. Tapi ada pula figur calon pemimpin yang bukan ustadz, tapi saat kampanye mengundang pelantun nasyid islami. Dari sini saja kita sudah tahu mau kemana daerah kita dibawa… Kepada ketaatan atau kemaksiatan?
Kelima, periksa rekam jejak atau track record-nya.
Kita harus jeli memeriksa ini. Kalau ada pemimpin yang sudah jelas-jelas punya masalah hukum. Apakah kita akan tetap memilihnya? Sungguh Allah SWT akan meminta pertanggungjawaban atas setiap pilihan kita. Jika ada calon yang nyata-nyata tersangkut korupsi, bagaimana mungkin dia sendiri bisa membasmi korupsi dan menjalankan pemerintahan yang bersih. Tentu memeriksa rekam jejak ini harus berdasarkan data-data yang valid, misalnya vonis pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atau sekurangnya penetapan sebagai tersangka dari KPK, Kepolisian atau Kejaksaan. Kasus semacam ini pernah terjadi di Kabupaten Bantul, Yogyakarta dimana PDIP mencalonkan tersangka korupsi Idham Samawi dalam Pilkada. Walah-walah.. bagaimana mau revolusi mental, ya?
Serba-Serbi: Tentang Baiat Pilkada
Beberapa tahun lalu di sebuah kabupaten di Pulau Jawa, ada calon bupati yang memainkan trik kotor untuk memaksa rakyat memilihnya. Caranya bagaimana? Sumpah atas nama Allah –atau dalam bahasa mereka- disebut bai’at yang selain diucapkan lisan juga ditulis dalam bentuk surat pernyataan akan mendukung calon bupati bersangkutan. Apabila melanggar sumpah, warga wajib membayar kiffarat. Di sana, sedikit banyak ada juga warga yang termakan strategi licik ini. Pemilih-pemilih yang lugu dan polos akan terpaksa mencoblosnya. Apalagi sebenarnya ini hanyalah kemasan lain dari money politic, sebab warga bersangkutan sudah diberi sejumlah uang dan dijanjikan akan ditambahi lagi di hari H pemilihan.
Sungguh, dalam Islam memang dikenal syariat bai’at, yaitu janji setia pada pemimpin. Pertama kepada pemimpin umat Islam (khalifah). Kedua kepada pemimpin organisasi. Tapi ini semua dilandasi aqidah dan ketaatan. Sementara dalam kasus ini bai’at hanyalah tipudaya untuk membeli suara rakyat. Rakyat diiming-imingi uang melimpah dari cukong yang berkuasa di kabupaten tetangga, lalu diintimasi dengan judul bai’at ini. Naudzubillah…
Hukum asal baiat itu memang wajib ditaati, namun jika baiatnya bathil seperti ini justru menjadi HARAM UNTUK DITAATI. Baiat ini malah WAJIB DILANGGAR! Sebab dalam Islam, tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan. Inilah ijma’ jumhur ulama kaum muslimin.
Penutup: Ingatlah Bahwa Allah Akan Meminta Pertanggungjawaban!
Pada akhirnya pilihan ada di tangan kita. Yakinlah setiap pilihan apakah memilih si A, si B atau Golput sekalipun, semuanya akan dimintai pertanggungjawaban oleh Tuhan. Risiko setiap pilihan itu akan kita rasakan tak hanya di dunia, tapi juga di akhirat. Itulah sebabnya sikap apatis menjadi sangat tidak relevan. Tidak bertanggungjawab.
Jika kita tak menggunakan hak pilih kita untuk memenangkan kebaikan, bersiaplah nanti Tuhan menanyakan alasan dari pilihan kita. Bila kelak calon yang kita pilih berbuat keliru, adalah tugas kita untuk mengawasi dan mengingatkan. Yang penting kita ikhtiar saja. Insya Allah, Dia memberikan petunjuk dan berkah-Nya sehingga daerah kita menjadi baldatun thayyibatun warabbun ghafur. Wallahua’lam bish shawab.
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, Pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu, maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.(QS. Al A’raf 96).