Beranda / Surau / Dakwah / Segera Kuputuskan, Talak Tiga Dengan Riba

Segera Kuputuskan, Talak Tiga Dengan Riba

ribaserambiMINANG.com – Tiga belas tahun sudah aku terjerat hutang. Bermula di tahun 2002, saat ada kabar bahwa rumah yang ditempati orangtua saya akan diminta oleh yang punya. Sebagai anak yang berbakti (prikitiiiwww), mana statusnya PNS, pegawai pajek pula (hag hag hag) tentulah saya ingin memberikan yang terbaik untuk orangtua.

Nekat, akhirnya saya beranikan diri berhutang di bank. Dengan pinjaman awal sebesar Rp. 15.000.000,00 akhirnya saya berhasil membelikan sebidang tanah di daerah Gentan, Solo untuk orang tua. Inilah awal perkenalan saya dengan riba.

Pada saat yang sama, saya sedang membangun rumah tangga. Dan salah satu impian setiap pasangan adalah memiliki rumah sendiri. Di tahun kedua pernikahan, kami berhasil memiliki rumah melalui KPR. Jadilah saat itu saya memiliki hutang di dua bank. Yang satu hutang KPR dan satu lagi hutang KRETAP. Saat itu rasanya tak ada yang salah.

Beberapa waktu kemudian, ibu mengabari bahwa ada rumah yang dijual murah di daerah Manahan, Solo. Ibu punya tabungan tetapi tidak cukup. Setelah melihat dan merasa cocok, saya pun menyanggupi untuk memberikan tambahan dana untuk membeli rumah tersebut. Dan top up adalah satu-satunya jalan yang terpikir.

Waktu terus berjalan. Penghasilan saya mulai bertambah. Ekonomi mulai stabil walau punya dua cicilan di dua bank. Saya mulai membuka tabungan haji dan akhirnya berhasil mendaftar dan mendapat nomor porsi.

Suatu saat ada yang menawarkan sebidang tanah dengan prospek bisnis yang bagus untuk investasi. Sebenarnya saya tak punya tabungan, tapi keinginan untuk memiliki sebidang tanah itu begitu menggoda.

Secara hitung-hitungan matematis, rasanya bisa lah mengambil satu lagi hutang, pikirku. Dan akhirnya kembali saya terjerat lilitan riba yang semakin dalam demi memiliki sebidang tanah yang di kemudian hari saya bangun toko di atasnya. Sejak itu saya punya tiga cicilan di tiga bank berbeda. *TutupMukaPakePanciMerk Sil**…

Rasa-rasanya saat itu bila ada kenaikan gaji bukan semakin sejahtera, justru semakin banyak hutangnya. Karena setiap tambahan penghasilan digunakan sebesar-besar untuk top up #prinsip.

Di tempat lain nun jauh di Solo sana, Ibu saya punya dua cicilan sepeda motor. Mengingat status ibu yang tak punya penghasilan tetap, sebenarnya hal itu memberatkan, tapi ibu tetap memaksakan diri.

Setiap tiba waktu mengangsur dan tak punya uang, ibu akan meminjam ke rentenir dengan bunga yang cukup besar. Setiap Rp.1.000.000,00 yang dipinjam, ibu hanya menerima Rp. 900.000,00. Pinjaman itu harus dicicil Rp. 100.000,00 per minggu selama 12 minggu. Jadilah selain punya cicilan motor, ibu juga punya cicilan ke rentenir.

Begitu seterusnya hingga tak terasa hutang ibu di rentenir sudah belasan juta. Cicilannya mencapai Rp. 850.000,00 per minggu. Huaaaaa. Akhirnya dengan sangat terpaksa ibu menjual tanah di Gentan untuk menutup hutang ke rentenir itu, sementara cicilan motor terus berjalan.

Baca :   Intifadha ke-3 Semoga Berbuah Kemerdekaan Palestina

Hutang pun kembali menumpuk. Sertifikat rumah tergadai di sebuah BPR. Hingga akhirnya rumah di Manahan itupun terjual. Sebagian untuk membayar hutang, sebagian sisanya untuk membeli rumah lagi di daerah Colomadu. Tapi sisa uang itu tidak cukup untuk membeli rumah.

Dan lagi-lagi sebagai anak yang berbakti (muahahahaaaaa) saya menyanggupi untuk menutup kekurangan pembelian rumah kedua. Dan lagi-lagi top up adalah satu-satunya jalan yang terpikir.

Belum setahun menempati rumah di Colomadu , rumah itu kembali terjual. Sebagian untuk menutup hutang, sebagian untuk membangun rumah di desa. Di tanah warisan dari mbah kakung. Dan lagi-lagi saya top up untuk menambah biaya pembangunan rumah. Fyuuuh.

Entah bagaimana ceritanya, suatu hari Bapak mengabarkan bahwa rumah di desa itu di sita dan akan dilelang oleh sebuah BPR di Kartosuro. Ternyata sertifikat rumah itu dijaminkan oleh Pak Dhe dan cicilannya tidak dibayar. Lagi dan lagi, demi menyelamatkan rumah itu saya top up lagi untuk melunasi hutang di BPR.

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Di awal tahun 2012 karena hutang yang kembali menumpuk. Rumah di desa itu akhirnya terjual juga. Setelah melunasi seluruh hutang, uang sisa hasil penjualan rumah itu dititipkan ke saya. Ibu ingin umroh waktu itu.

Tapi takdir berkata lain. Beberapa minggu setelah rumah itu terjual, keponakan saya kecelakaan, membutuhkan biaya besar dan sebagian uang penjualan rumah itu dipinjam kakak saya untuk operasi anaknya.

Selang dua hari dari operasi keponakan itu, ibu tiba-tiba koma dan masuk ICU. Empat hari dirawat akhirnya ibu meninggal dunia. Semua hasil penjualan rumah itu habis untuk biaya operasi keponakan, biaya perawatan ibu dan biaya pemakamannya. Tak bersisa satu rupiah pun. Subhanallah.

Saya merasa nelangsa, apa yang saya perjuangkan selama ini musnah. Tanah, rumah, bahkan motor yang tadinya dibela-belain akhirnya terjual dua-duanya. Lenyap tak bersisa. Sementara di sisi lain, saya masih harus berjuang untuk mencicil KRETAP yang jumlahnya membengkak karena top up demi top up.

Itulah kenapa saya amat keras melarang adik-adik saya memiliki hutang, terlebih bila membeli kendaraan lewat leasing. Karena kenikmatan yang diperoleh tak sebanding dengan deritanya. Alih-alih jadi gaya, yang ada malah sengsara. Sebidang tanah dan tiga buah rumah melayang hanya gara-gara cicilan 2 buah motor. Yang tersisa hanya penyesalan.

Benarlah janji Allah:

”Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.” (QS al-Baqarah (2): 276).

Selanjutnya…

Lihat Juga

Tentang Desi Sulistiyawati

Lihat Juga

Riba dan Keadaan di Dunia Nyata

serambiMINANG.com – Sebagaimana kita ketahui sebuah realita yang sangat menyedihkan terjadi di negeri ini yaitu menyebarnya …

Tinggalkan Balasan

Segera Kuputuskan, Talak Tiga Dengan Riba - Serambi Minang