serambiMINANG.com – Semoga Allah menghindarkan saya dari kekeliruan dalam telaahan Ramadhan tentang Menyikapi Awal Ramadhan. Menjadi bagian dari rasa keimanan seseorang menanti datangnya Ramadhan dan karena itu mereka pun perhatian terhadap awal Ramadhan. Larangan Nabi Muhammad SAW untuk tidak mendahului puasa sebelum 1 Ramadhan, menunjukkan pentingnya perhatian kita terhadap datangnya Ramadhan.
Yang kemudian menjadi masalah adalah kapan tanggal 1 Ramadhan itu? Di sini sering terjadi perbedaan di antara kita. Tidak hanya di Indonesia, perbedaan tentang 1 Ramadhan ini juga terjadi di negeri-negeri lainnya.
Dari hadits shahih yang diriwayatkanAbu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhari dan Muslim, Nabi Muhammad shollallahu‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda:
“Berpuasalah kalian karena melihatnya dan berbukalah kalian karena melihatnya dan apabila bulan tertutup atas kalian maka sempurnakanlah tiga puluh.”
Berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW tersebut, maka berpuasa Ramadhan itu dengan ru’yah (melihat) bulan. Lalu mengapa ada yang menggunakan hisab? Yang menggunakan hisab berpendapat bahwa hisab itu ru’yah bil ‘ilmi (melihat dengan ilmu). Mereka berpatokan pada wujudul hilal. Bahwa bila hilal telah wujud berdasarkan hisab berarti ia bisa diru’yah.
Adapun bagi yang benar-benar menggunakan ru’yah dengan mata, apakah mereka tidak menggunakan hisab? Mereka menggunakan hisab untuk membantu ru’yah. Hisab disini sifatnya untuk membantu, bukan penentu. Dengan bantuan hisab, tak mungkin kita memulai puasa Ramadhan pada tanggal 29 Sya’ban atau sebelumnya. Memangnya ada yang puasa pada tanggal 29 Sya’ban atau sebelumnya? Bila kita memperhatikan berita di televisi, kita pernah mendapatkan berita tentang kelompok umat yang berpuasa 1 Ramadhan di bulan Sya’ban yang belum genap 29 hari karena merasa telah masuk bulan Ramadhan. Mereka menggunakan perasaan, tidak menggunakan ilmu. Dengan bantuan hisab, maka dapat ditentukan mungkin/tidaknya dilakukan ru’yah hilal 1 Ramadhan. Ini yang disebut imkanatur ru’yah.
Terkait imkanatur ru’yah maka terdapat perbedaan pada derajat ketinggian hilal berapa suatu bulan dapat diru’yah. Ada yang menyatakan hanya dua derajat ke atas suatu hilal dapat diru’yah, ada yang menerima bahwa kurang dari dua derajat pun bisa diru’yah.
Kembali kepada metode Nabi SAW (ru’yah) apakah kita pasti memulai berpuasa sejak 1 Ramadhan? Tidak. Belum tentu kita puasa sejak 1 Ramadhan. Bisa kita puasa sejak tanggal 1 Ramadhan atau bisa sejak tanggal 2 Ramadhan. Bila hilal tak kelihatan, misal terhalang oleh awan, maka dilakukan istikmal, yaitu disempurnakan bulan Sya’bannya menjadi 30. Dengan demikian, boleh jadi sudah tanggal 1 Ramadhan, tapi dihitung sebagai tanggal 30 Sya’ban. Dalam keadaan seperti itu, berarti kita memulai puasa “Tanggal 2” bulan Ramadhannya.
Jadi Nabi Muhammad SAW memberikan toleransi kemungkinan error 1 hari Ramadhan untuk awal puasa Ramadhan. Ini bisa diterima secara ilmiah. Bandingkan dengan penelitian ilmiah yang juga biasa ada sampling error 5 % misalnya. Jadi wajar penentuan awal Ramadhan pun ada risiko error. Tapi yang jelas umat Islam memulai puasa Ramadhan di bulan Ramadhan, entah tanggal 1 Ramadhan atau pun tanggal 2 Ramadhan. Karena itu saya heran kalau begitu melihat “1 Ramadhan” bulan sudah tinggi, ada umat yang komentar: “Bener kan harusnya kemarin puasanya.” Padahal Nabi Muhammad SAW telah menolerir berpuasa pada tanggal 2 Ramadhan bila hilal tidak bisa dilihat, dengan metode istikmal tadi.
Jadi, apa mesti harus menggunakan hisab biar tepat 1 Ramadhannya? Masalahnya: tak ada haditsnya, bagaimana?
Karena itu, akan sangat mungkin terjadi berbeda awal Ramadhan, antara ru’yah dan hisab, juga bisa berbeda antara ru’yah dan ru’yah. Dalam situasi seperti ini, maka menurut saya sebaiknya diselesaikan oleh Ulul amri/Pemerintah. Sebab dari sudut pandang error 1 hari: yang ru’yah sesuai sunnah, yang hisab masih dalam varian sunnah karena errornya tak lebih 1 hari, dan keduanya memulai puasa Ramadhan di tanggal 1 atau 2 Ramadhan.
Itu sebabnya ada negara yang mengatur: tahun ini menggunakan ru’yah, tahun berikutnya menggunakan hisab. Mereka lakukan bergantian, selang-seling metodenya. Kaget ya? Ojo kagetan. Jadi saya berharap suatu saat kita semua mengikuti Pemerintah, apa pun metodenya. Bila tidak: ya nikmati saja perbedaan.
Lalu tentang error 1 hari itu kita mesti gimana? Pertama, Nabi Muhammad SAW tak memusingkannya. Kedua, Ramadhan telah memberikan jawabannya. Jawabannya: kita disunnahkan berdoa di malam-malam Ramadhan dengan doa Lailatul Qadar: Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu’anni. Ya Allah, sesungguhnya
Engkau Maha Pemaaf, menerima ma’af, maka hapuskanlah kesalahan kami. Insya Allah terhapus error 1 hari Ramadhannya. Jadi, woles aja bro.