serambiMINANG.com – Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya bila dikatakan kepadamu:
“Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah” kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) diakhirat hanyalah sedikit.” (QS At Taubah 38)
Puasa harusnya menghasilkan keikhlasan. Hal ini sangat penting karena ibadah yang lain sulit mengemban amanat ini. Puasalah yang mampu menjadikan seseorang itu ikhlas. Kelak ibadah lain yang MENIKMATI hasilnya setelah ikhlas dihasilkan. Sebab syarat diterimanya ibadah adalah ikhlas dan sesuai sunnah.
Mengapa puasa bisa menghasilkan ikhlas? Ada apa dengan puasa sebenarnya?
Masih ingat yang saya sampaikan sebelumnya bahwa puasa itu ibadah pasif? Ternyata selain pasif, lebih dari itu puasa melucuti sesuatu yang selama ini kita “MILIKI”. Kita “memiliki” makanan dan minuman, puasa “memaksa” kita untuk tidak makan dan minum di siang hari Ramadhan. Kita dilatih untuk tidak merasa memiliki. Demikian pula dengan isteri/suami yang kita “miliki”. Kita pun bukan menjadi “pemilik”nya di siang hari Ramadhan. Kita hanya boleh memilikinya di malam hari saja.
Demikianlah, kita diajari untuk TIDAK MEMILIKI. Mengapa diajari begitu? Memangnya ada yang salah dengan rasa “memiliki”?
Jawabnya, rasa “memiliki” yang berlebihan memang berdampak negatif. Misalnya sangat “memiliki” harta membuat orang bakhil. Sangat “memiliki” dunia hingga ridha kepadanya bikin kita tak sanggup mengorbankannya saat dibutuhkan.
Karenanya Allah menegur dalam QS At Taubah 38: aradhiitum bil hayatiddunya minal akhirah? Apakah kalian puas dengan kehidupan dunia dari pada akhirat?
Rasa “memiliki” membuat kita berpuas diri sehingga menghambat munculnya potensi KEISTIMEWAAN kita. Juga membuat kita EGOIS. Sisi egois inilah yang membuat kita “terjebak” untuk tidak ikhlas. Semuanya kita pandang dari sudut “menguntungkan” diri sendiri.
Dalam konteks ibadah, biasanya pujian atau rasa bangga adalah keuntungannya. Lalu apa yang bisa dibanggakan dari lapar, haus, dan lemas? Demikianlah puasa mengajari kita untuk tidak memiliki, sekaligus mengajari kita untuk tidak selalu berpikir tentang keuntungan jangka pendek.
Jadi adakah keuntungan puasa dalam jangka panjang? TENTU. Dengan dihasilkan keikhlasan, puasa akan MENGORBITKAN kita secara optimal. Dan keikhlasan ini kunci kebahagiaan. Kalau tak percaya, cobain aja. Karenanya Allah memerintahkan untuk ikhlas agar kita bahagia.
Karena itu, ikhlas disebut sebagai “sirrun min sirrin”.
Rahasianya rahasia. Karena dari ikhlaslah awal sukses dunia akhirat. Yuk kita optimalkan puasa Ramadhan kali ini dengan belajar arti TIDAK MEMILIKI agar tumbuh keikhlasan. Mari kita tumbuh MENJADI orang yang bahagia dan sukses karena ikhlas dapat kita tumbuhkan dengan puasa Ramadhan.