“Kementerian Agama menggelar dengar pendapat dengan kelompok minoritas pada Selasa (15/7) di Jakarta. Acara ini dihadiri sejumlah kelompok keyakinan, di antaranya, Pegiat Agama Maumalim atau Parmalim, Ahlul Bait Indonesia, Majelis Bahai Indonesia, Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika, Masyarakat Sunda Wiewitan, Jamaah Ahmadiyah Indonesia, dan Gerakan Ahmadiyah Indonesia.
Selain itu, hadir para aktivis toleransi keberagamaan, di antaranya, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Wahid Institut dan Gusdurian. Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengungkapkan, negara memiliki kewajiban untuk melayani seluruh masyarakat, termasuk komunitas beragama.”
Terlepas dari perdebatan soal kebenaran keyakinan mereka, kata dia, negara berkepentingan untuk melayani mereka secara legal.
“Negara mesti memberi pengakuan secara legal atas keberadaan mereka,” ujarnya di kawasan Kompleks Perumahan Widya Chandra III No 9 Jalan Gatot Subroto Jakarta Selatan pada Selasa (15/7). (Harian umum Republika 17 July 2014; Pemerintah segera legalisasi kelompok minoritas
Begitulah salah satu berita aliran sesat di Indonesia yang hari ini mulai mendapat tempat dengan sebutan yang lebih halus “minoritas”.
Bahkan menteri agama melalaui sikap yang seperti ‘’menafikan’’ kesesatan tersebut, mengundang para aliran sesat untuk berdiskusi seolah tidak terjadi apa-apa sebelumnya. Jika seperti logika menteri agama maka kehidupan beragama di negeri ini bisa kacau.
Jelas saja aliran-aliran sempalan dalam sebuah ajaran agama kini hanya diberi nama “minoritas” oleh lembaga kementerian yang “ngurusin agama”. Jangan sebut sempalan, jangan sebut sesat !! lantas jika ada warga negara yang melanggar hukum atau bertindak kriminal maka dengan logika yang sama dia tidak bisa dihukum, dia hanya minoritas.
Begitu pulalah logika singkatnya tentang agama Islam, yang juga punya seperangkat ajaran yang kompleks, dari yang paling fundamental sampai pada lini kehidupan masyarakat yang beragam.
Jika semua hal tindakan kesesatan dibenarkan, bahkan dengan mengatasnamakan Islam. Maka tidak ada perlindungan negara terhadap penistaan agama yang sudah diatur dalam peraturan UU No. 1/PNPS Tahun 1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama.
“Belum lama berselang kementerian agama dibawah menteri agama Lukman Hakin Saifuddin dalam akun facebook kementerian agama menyampaikan tentang hubungan kerjasama Syiah Iran-Indonesia dalam pendidikan. Menag juga menyatakan pentingnya bekerja sama dibidang pendidikan seperti dikutip dari akun FB kementerian agama
“ Zamani (Kepala Hubungan Internasional Hauzah Ilmiyah Clom – Iran) juga mengundang ulama di Indonesia untuk melihat lembaga-lembaga pendidikan di Iran. Menag Lukman menyambut baik undangan tersebut dan memandang perlu jalinan kerjasama di bidang pendidikan. Menag berharap, melalui kerjasama tersebut, dapat terjalin pandangan yang sama mengenai Islam.
Kepada Zamani dan rombongan, Menag menyatakan bahwa saat ini Kementerian Agama tengah berupaya memperbaharui kurikulum Ma’had Aly sebagai salah satu lembaga pendidikan tinggi keagamaan yang berbasis di pesantren. Menag juga berencana untuk membentuk tim dalam rangka menjalin hubungan kerjasama di bidang pendidikan terutama pada jenjang doktoral (S3)”
Dengan sikap menag yang cenderung menggandeng aliran sesat dalam Islam tersebut justru menimbulkan keresahan dalam tubuh umat Islam sendiri. Bahkan label “intoleransi” yang sering dikumandangkanpun akan berbalik kepada sendiri.
Karena hakikatnya menag juga telah “intoleransi” terhadap kebenaran Islam, kecuali jika menag memakai makna kebenaran dalam “sekularisme” bukan dari kebenaran Islam. Karena para Ulama dari dahulu sampai sekarang telah menyepakati apa dan siapa yang disebut sesat, termasuk syiah. Namun justru tidak demikian dengan tindakan yang justru kontra kebenaran yang dilakukan oleh menag mulai dari al-qur’an dengan langgam jawa hingga “mempermulus” syiah di Indonesia.
Tentu tidak berlebihan mengatakan suatu aliran dalam suatu agama adalah sesat, bukan hanya Islam tapi juga agama lain, contohnya kristen.
Ketika suatu kaum yang masih mengaku Islam namun menyeleweng dari pokok-pokok ajaran Islam maka wajar disebut sesat, bukan minoritas.
Sama halnya ketika seorang warga negara melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundangan-undangan. Salah satunya melakukan tindak pidana, maka tentu tidak tepat disebut sebagai minoritas, maka dia adalah penjahat/pembunuh/penjambret/pelacur/pencuri/koruptor dll.
Maka ketika aliran sesat disebut minoritas maka tidak bisa dibenarkan dari sisi manapun, kecuali pembenaran dari kacamata yang tak ber-kebenaran. Karena dalam makna, minoritas belum tentu aliran sesat. Aliran sesat timbangannya adalah pada pokok-pokok dalam ajaran agama, sedangkan minoritas ukurannya pada jumlah.
Terlihat pengalihan makna yang digunakan. Dalam Islam jelas ketika tidak sesuai dalam hal yang bersifat fundamental maka tentu disebut sesat.
Berkata Ibnu Mas’ud ra : Nabi saw membuat satu garis dengan tangannya lalu bersabda; “Ini jalan Allah yang lurus”. Kemudian beliau membuat garis-garis disebelah kanan dan disebelah kiri garis lurus tadi lalu beliau bersabda; “dan inilah jalan-jalan yang tiada satupun jalan daripadanyamelainkan ada syeitan atasnya yang mengajak (manusia) kepadanya. Lalu beliau membaca Surah Al An-‘am ayat 153 tadi. (HR. Ahmad 1: 465)
Semoga kita tetap berpegang pada kebenaran yang hakiki. Seperti yang telah diwariskan oleh Rasulullah sholallahu alaihi wasallam yaitu Al-Qur’an dan Sunnah.
Meskipun yang mengatakan adalah menteri agama sekalipun ketika tidak sesuai petunjuk Al-Qur’an dan Sunnah dengan bimbingan para Ulama yang terpercaya maka tidak bisa dibenarkan.
Allahu ta’ala a’lam