Beranda / Surau / Dakwah / Menjadi Insan Pemaaf

Menjadi Insan Pemaaf

maafserambiMINANG.com – “(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. ALI Imran: 134).

Saudaraku,

Ramadhan telah pergi meninggalkann kita. Berbagai warna kenangan indah telah kita ukir di bulan itu. Beragam kemudahan Allah hamparkan di hadapan kita. Musuh abadi kita (setan) tak mampu memperdaya kita kita, karena ia dibelenggu oleh yang Maha Kuasa.

Kita melepas kepergian bulan penuh barakah, ampunan dan kebaikan itu dengan deraian air mata. Teramat berat berpisah dengan penghulu bulan. Bulan suci yang dapat membersihkan dosa dan maksiat. Kelalaian dan keteledoran yang sebelumnya kita perbuat.

Hanya orang-orang yang jauh dari petunjuk, yang gembira dengan kepergian Ramadhan. Hanya mereka yang terkungkung dalam dosa dan maksiat, yang senang berpisah dengannya. Hanya insan bergajul (baca: durhaka) yang tersenyum dengan kepergiannya.

Saudaraku,

Universitas Ramadhan meluluskan para wisudawan religi dengan gelar “al-muttaqin”, tentunya dengan predikat yang berbeda. Ada wisudawan terbaik, memuaskan, sangat baik, baik dan seterusnya.

Indikator wisudawan terbaik “al-muttaqin” yang lahir dari Universitas Ramadhan, adalah menjadi insan pemaaf. Mudah memaafkan kesalahan orang lain. Tiada dendam di dalam hati. Apatah lagi merencanakan balas dendam terhadap orang yang pernah melukai hati.

Jangankan diminta untuk memberi maaf kepada orang yang memintanya. Tanpa diminta pun insan bertakwa akan segera memaafkan kesalahan orang lain. Karena ia mengharap kemaafan dari Zat yang Pemaaf (Allah s.w.t).

Saudaraku,

Siapa di antara kita yang tak pernah mengukir kesalahan dalam hidup?. Siapa dari kita yang tak luput dari kekhilafan? Siapa di antara kita yang tak pernah terjerumus ke dalam dosa dan maksiat?. Baik itu yang terkait dengan kekhilafan, kesalahan dan dosa kita kepada yang di Atas ataupun dosa dan kekhilafan yang kita perbuat terhadap sesama manusia yang singgah di belahan bumi-Nya beberapa saat sebelum ajal menjemput kita.

Selain para nabi dan rasul yang ma’shum (terpelihara dari dosa dan kesalahan), tentu jawabannya tidak ada. Siapapun kita. Apapun profesi kita. Seperti apa pun keadaan kita. Dan di bumi mana pun kaki kita berpijak.

Pejabat ataupun rakyat. Pemimpin maupun anggota masyarakat. Kyai maupun santri. Ustadz maupun jama’ah pengajian. Guru maupun murid. Tuan tanah, maupun orang yang sudah bau tanah. Majikan maupun pembantunya. Manager perusahaan maupun karyawannya. Suami, istri maupun anak-anak. Pengasuh pesantren maupun santri-santrinya. Pedagang, petani, dan seterusnya.

Saudaraku,

Selama kita berlabel ‘manusia’, maka kita tak akan luput dari salah dan khilaf. Yang disengaja maupun tidak. Yang besar maupun yang kecil. Karena manusia disebut dengan manusia karena ‘linisyanihi’ lantaran kealpaannya.

Namun hal itu bukan menjadi tameng dan alasan bagi kita untuk selalu mengulangi kesalahan di masa lalu dan membiarkan dosa terus kita lakukan tanpa putus. Tanpa ada koreksi diri dan muhasabah. Tanpa ada kata istighfar dan mengakui kekurangan dan kelemahan diri.

Jika kita memiliki iman walaupun seberat biji sawi dalam kalbu kita. Mempunyai pelita di dalam jiwa seredup apapun. Maka jiwa kita akan tersengat saat dosa dan kesalahan kembali diperbuat oleh anggota tubuh kita. Hati akan merintih akibat kekhilafan yang kembali terukir dalam hidup. Bathin kita menjerit menahan sakit. Jantung kita terbakar membayangkan pedihnya siksa neraka.

Namun saudaraku,

Orang yang telah mati benih iman di dalam kalbunya, maka dosa dan maksiat sebesar apapun tak akan dapat membangunkan dirinya dari kelalaian. Bahkan tidur semakin pulas. Senyuman tetap merekah. Langkah tetap ringan untuk diayunkan. Hal itu senada dengan ungkapan sya’ir, “Senjata tajam tak akan dapat melukai jasad yang telah mati.”

Oleh karena itu kematian hati lebih berbahaya daripada kematian jasad. Redupnya cahaya bathin lebih menggelapkan hari-hari kita kita daripada padamnya cahaya lampu di kamar dan ruangan tempat tinggal kita.

Saudaraku,

Dosa dan maksiat adalah belenggu. Artinya kita seakan-akan terpenjara karenanya. Jiwa kita terkekang dan hati seperti menanggung beban yang sangat berat. Tangan seolah-olah terikat, tak memiliki kekuatan dan kebebasan untuk bergerak dan beraktifitas secara normal.

Baca :   Pengucapan Subhanallah dan MasyaAllah Ternyata Tidak Pernah Dipermasalahkan Ulama

Dosa dan maksiat adalah kegelapan. Yang akan menghitamkan hari-hari kita dan menggelapkan langkah kaki kita menuju keridhaan Allah s.w.t. Ia menciptakan awan mendung di langit-langit hati kita.

Dosa dan maksiat adalah pembunuh. Yang akan mengikis pundi-pundi amal shalih yang telah kita himpun dan kumpulkan dengan susah payah setiap detiknya.
Saudaraku,

Dosa dan kesalahan yang kita perbuat untuk yang di Atas, karena kekurangan kita dalam mentaati rambu-rambu-Nya. Atau karena pelanggaran yang kita lakukan terhadap apa yang dilarang dan diharamkan-Nya. Cukup kita melantunkan kata istighfar dan bertaubat kepada-Nya.

Tapi kesalahan dan dosa terhadap sesama. Karena merampas hak-haknya. Atau menodai kehormatan dan kemuliaannya. Melukai hati dan menggoreskan luka di kalbunya. Menipu dan melakukan kebohongan terhadapnya. Mengusik ketenangan dan mengganggu kedamaiannya. Bermasalah dalam berinteraksi harta dengannya. Mencemarkan nama baiknya. Dan yang senada dengan itu.

Untuk dosa dan kesalahan model kedua ini, tidak cukup hanya dengan beristighfar dan bertaubat kepada-Nya. Tapi juga disyaratkan, meminta maaf dan meraih keridhaan orang yang telah kita lukai dan gelapkan hari-harinya.

Saudaraku,

Adakah satu kebahagiaan yang melebihi kebahagiaan kita saat mendapatkan kemaafan dan ampunan dari orang yang pernah kita hitamkan wajahnya? Orang yang pernah kita lukai perasaan hatinya? Kita cemarkan nama baiknya?. Mungkin tidak ada. Dan tak akan ada. Sebab ini terkait pula dengan masa depan kita di sana. Di akherat sana.

Saudaraku,

Kemaafan dari mereka, menjadikan arak-arakan awan serasa sirna dari langit hati kita. Beban yang sangat berat yang berada di pundak kita seperti terangkat dan tubuh pun teramat ringan untuk melangkah, melanjutkan perjalanan. Perjalanan menuju ridha-Nya.

Kita tak mampu membendung air mata untuk menetes, pertanda kebahagiaan menggenangi ruang hati kita. Membuka kejernihan alam berpikir kita. Hari-hari kita seolah berpelangi. Cerah, hangat dan berseri seperti sapaan mentari pagi.

Saudaraku,

Oleh karena itu, memaafkan kesalahan dan kekhilafan orang lain merupakan akhlak yang sangat terpuji. Hiasan indah para salafus shalih. Ia memantulkan keistimewaan yang tiada tara. Ia adalah pembeda. Pembeda insan bertakwa dengan orang yang terlena dengan dunia.

Saudaraku,

Terkait dengan akhlak mulia ‘memaafkan kesalahan orang lain’, ada beberapa catatan penting yang semestinya kita garis bawahi dengan tinta emas.

• Memaafkan kesalahan orang lain merupakan tanda ketakwaan seseorang. Artinya semakin sering kita merealisasikannya dalam kehidupan kita, maka simat ketakwaan kita semakin tampak. Terlebih alasan kita memaafkan orang lain, bukan karena kita lemah tak berdaya. Tak mampu balas dendam. Tapi karena kelapangan dada dan ketulusan hati kita. Allah menyebut perihal sifat sosok muttaqin dalam firman-Nya, “..dan orang-orang yang memaafkan kesalahan orang lain.” Ali Imran: 134.
• Memaafkan kesalahan orang lain merupakan akhlak para nabi dan rasul. Artinya kita akan semakin dekat dengan akhlak mereka, jika kita mampu mengikuti kebiasaan mereka. Ketika terjadi penaklukan kota Mekkah, di mana kaum muslimin telah membebaskan kota itu dari kepercayaan nenek moyang; penyembah berhala. Tiada balas dendam yang diperbuat nabi terhadap masyarakat Quraisy yang dulu pernah mengusirnya. Menzaliminya dan seterusnya. Tapi nabi s.a.w membebaskan mereka. Allah berfirman, “Dan sungguh kamu berbudi pekerti yang agung.” (QS. Al-Qalam: 4).
• Memaafkan kesalahan orang, merupakan salah satu kunci untuk masuk surga. Jika kita ingin masuk surga, milikilah kunci ini.
• Memaafkan kesalahan orang lain, akan membuahkan cinta Allah dan para makhluk-Nya di permukaan bumi.
• Memaafkan kesalahan orang lain, akan mengalirkan do’a-do’a tulus dari manusia. Dan seterusnya.

Saudaraku,

Ku ucapkan “jazakumullah khairan katsira” semoga Allah membalas kebaikanmu dengan balasan terbaik” kepada para sahabat yang telah memaafkan kekhilafan diri ini. Kebaikan dan keindahan akhlakmu tak akan terlupakan dalam hidup ini.

Semoga kita semua mampu menghiasi diri kita dengan ‘kemaafan’, sehingga kita layak menjadi tetangga Rasulullah s.a.w di surge kelak. Amien. Wallahu a’lam bishawab.

Metro, 21 Juli 2016

Lihat Juga

Tentang Fir'adi Nasrudin

Da'i, Lulusan Universitas Madinah

Lihat Juga

Pengurus Daerah Dewan Kepemudaan Nasional Sumatera Barat Resmi Terbentuk

Pengurus Daerah Dewan Kepemudaan Nasional Sumatera Barat (DKN Sumbar) resmi dibentuk, Rabu (22/4). Hal tersebut …

Tinggalkan Balasan

Menjadi Insan Pemaaf - Serambi Minang