serambiMINANG.com – “ Menjadi diri sendiri ”, kata-kata ini seolah menjadi sandaran setiap remaja yang sedang mencari jati diri, atau juga banyak orang dewasa yang mengucapkannya. Seolah kata-kata ini memberikan kekuatan kepercayaan diri, “menjadi diri sendiri”.
Dengan kata-kata ini seolah ada aroma percaya diri, namun aromanya ke segala arah. Kata-kata ini justru sering terinterpretasi menjadi kebebasan dan keberanian berbuat apa saja. Seolah bebas inilah yang disebut “ menjadi diri sendiri ”. Namun ini menjadi problematis, karena pengalaman tentang yang katanya “ menjadi diri sendiri ” justru sebagian besarnya merupakan kata-kata yang sering dipakai dalam perfilman di Indonesia
Disatu sisi, ini adalah hal baik ketika ditujukan sebagai simbol percaya diri. Namun ketika ditinjau lagi diri sendiri itu yang bagaimana, maka disitulah masalahnya. Apakah diri sendiri itu telah ada semenjak lahir (kepribadian, baik-buruk) atau “diri sendiri “ yang dimaksud adalah seperti yang digambarkan dalam kebanyakan film-film di Indonesia, “diri sendiri” itu adalah kebebasan, berani melanggar aturan, balapan dijalanan, melawan orang tua karena merasa benar, dll.
Pertama “diri sendiri” itu jika di defenisikan dengan kecenderungan dalam diri atau kecenderungan kepribadian, maka kepribadian itu sendiri didapatkan dari proses yang panjang, dan kepribadian itu tidak “ada” dengan sendirinya. Karena setiap manusia yang lahir itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak mempunyai pengalaman apa-apa. Barulah ketika dia memiliki kemampuan menyerap informasi dan pengalaman baik dengan orang tua ataupun dengan lingkungannya barulah kepribadian itu perlahan terbentuk.
Ini sesuai sabda Rasulullah sholallahu alaihi wasallam
“Seorang bayi tak dilahirkan (ke dunia ini) melainkan ia berada dalam kesucian (fitrah). Kemudian kedua orang tuanyalah yg akan membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani, ataupun Majusi” (HR Muslim)
Maka yang pertama menanamkan kepribadian manusia itu adalah orang tuanya, dan memang orang tua berperan sangat besar dalam kepribadian seorang manusia.
Teori tentang ini juga dikemukan oleh John Locke namun berbeda sudut pandang dalam hal fitrah manusia. Karena dalam psikologi modern ilmu justru lebih lekat dengan sekulerisme. Dan dalam sekulerisme ilmu dan iman (agama) berada pada ruang yang berbeda dan tidak memiliki ikatan apapun. Inilah kerusakan yang ditimbulkan oleh sekulerisme yang dibawa dalam keilmuan barat yang juga berpengaruh besar pada perkembangan ilmu pengetahuan di dunia.
Dalam teorinya John Locke mengatakan bahwa jiwa seorang bagaikan kertas putih. Kertas ini kemudian akan mendapatkan coretan atau tulisan dari luar. Terserah kepada unsur dari luar yang menulis, mau ditulisi merah atau hijau dsb. Artinya orang tua dan lingkungan yang akan memberikan warna terhadap anak tersebut.
Sekilas teori “tabularasa” ala John Locke terlihat tidak bermasalah. Namun ketika diteliti lagi ini sangat bermasalah. Karena dasar pemikiran yang sudah “bercerai” dengan agama maka konsekuensinya juga apa yang menjadi teorinya juga tidak berkaitan dengan yang namanya “Tuhan”.
Dalam teori tabularasa seorang anak adalah seperti kertas putih, belum punya warna apa-apa, polos. Namun tidak demikian dalam sudut pandang Islam.
Setiap manusia itu akan lahir dengan fitrahnya masing-masing. Dan fitrah setiap manusia itu adalah mengakui ke “Esa”an Allah. Setiap manusia itu fitrahnya adalah bertauhid, namun orangtuanyalah yang kelak menjadikannya yahudi, nashrani, atau majusi. Seperti yang di abadikan Allah dalam surat al araf ayat 172
“…………………. bukankah Aku ini tuhanmu? Mereka menjawab “betul Engkau Tuhan kami, kami bersaksi.”
Dan dalam surat ar rum ayat 30 Allah juga berfirman
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam). (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakanmu dengan menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”
Maka fitrah manusia itu sejatinya adalah Islam. Menurut buya Hamka dalam tafsir Al Azhar lazimilah atau tetaplah pelihara fitrahmu sendiri, yaitu rasa asli murni dalam jiwamu sendiri yang belum kemasukan pengaruh dari yang lain, yaitu mengakui adanya kekuasaan teringgi di alam ini, Yang Maha Kuasa, Yang Maha Perkasa, mengagumkan, penuh kasih sayang, indah dan elok.
Dan ketika dikatakan “menjadi diri sendiri” maka penjelasan yang paling tepat adalah menjadi sesuai dengan fitrah kita sebagai manusia yang telah Allah ciptakan. Maka menjadi diri sendiri itu sebenarnya adalah kembali kepada fitrah kita sebagai manusia, yaitu Islam.
Maka orang yang betul-betul menjadi diri sendiri adalah orang yang menjadikan Islam sebagai jalan hidupnya (way of life). Islam sebagai worldview, tauhid adalah landasannya dalam memandang segala sesuatu.
Namun karena dalam kehidupan kita makna tersebut sering dipelintir dalam film-film yang mempertontonkan “kebebasan”, eksploitasi aurat/wanita, dll, maka seringkali makna “menjadi diri sendiri” ini menjadi salah kaprah. Karena dalam Islam ilmu itu tidak pernah terputus dari Rabbnya.
“Jadilah diri sendiri”
Allahu a’lam.