Nikmat; Sebut Tak Sebut? - Serambi Minang
Beranda / Surau / Dakwah / Nikmat; Sebut Tak Sebut?

Nikmat; Sebut Tak Sebut?

serambiMINANG – Janganlah engkau meremehkan suatu nikmat meskipun sedikit, karena yang sedikit dari Dzat Yang Maha Mulia itu sesungguhnya banyak.

لا تستخفَّنَّ بنعمة مهما قلّت؛ فإن القليل من الكريم كثير

Pesan Syaikh Musthafa As-Siba’i terasa menyentuh dalam ruang kesadaran. Tiada beda adanya kecil atau besar, disaat kita dihadapkan dengan nikmat Allah Ta’ala.

Syaitan tak pernah berhenti lelah berusaha menggelincirkan manusia malam maupun siang, mencari celah ruang menggoda menjerumus. Usaha menjauhi sebab pintu masuk setan menguasai seorang hamba mesti diutamakan. Tutup rapat sebisa semampunya, agar nikmat tak dihalau jauh oleh hasad berujung duka.

(قَالَ يَا بُنَيَّ لَا تَقْصُصْ رُؤْيَاكَ عَلَىٰ إِخْوَتِكَ فَيَكِيدُوا لَكَ كَيْدًا ۖ إِنَّ الشَّيْطَانَ لِلْإِنْسَانِ عَدُوٌّ مُبِينٌ)

Dia (ayahnya) berkata, “Wahai anakku! Janganlah engkau ceritakan mimpimu kepada saudara-saudaramu, mereka akan membuat tipu daya (untuk membinasakan)mu. Sungguh, setan itu musuh yang jelas bagi manusia.” (Q.S. Yusuf : 5)

“Mimpi itu merupakan bayangan bagi seseorang selagi dia tidak membicarakannya; apabila dia membicarakannya, maka akan menjadi kenyataan.”

الرُّؤْيَا عَلَى رِجْلِ طَائِرٍ مَا لَمْ تُعَبر، فَإِذَا عُبرت وَقَعَتْ.

Rasulullah shalallahu alaihi wasallam juga mengingatkan agar tak mengumbar mulut menabur menceritakan nikmat. Sebagaimana ditermaktub dalam Musnad Imam Ahmad.

Mimpi sebenar mendatangkan bahagia, namun jika tersebar tersiar lagi terdengar oleh yang lain maka ujian berat tak disangka kunjung menghampiri menghapus mengganti bahagia.

Menyembunyikan nikmat itu dibolehkan, apatah lagi nikmat mulia dari Yang Maha Mulia.

“اسْتَعِينُوا عَلَى قَضَاءِ الْحَوَائِجِ بِكِتْمَانِهَا، فَإِنَّ كُلَّ ذِي نِعْمَةٍ مَحْسُودٌ”

Jadikanlah menyembunyikan tujuan sebagai sarana untuk meraih hal-hal yang didambakan, karena sesungguhnya semua orang yang beroleh kenikmatan itu ada yang iri kepadanya.

Yang menarik, disaat yang lain pada bagian surat dan ayat berbeda Allah SWT memerintahkan untuk menyebut-nyebut nikmat yang telah diberi-Nya. Apakah itu wujud kontradiksi? Atau pertanda ketidaksiapannya Dzat Yang Maha Sempurna?

(وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ)

Dan terhadap nikmat Tuhanmu hendaklah engkau nyatakan (dengan bersyukur). (Q.S. Al ‘Ala : 11).

Imam al-Qurthuby menafsirkan ayat ini sesuai dengan konteks Rasulullah adalah bersyukur dengan menyampaikan risalah kenabiannya. Jika ayat ini diperuntukkan kepada kita maka konteksnya lebih luas. Yang dimaksud menyebut-nyebut, berbicara atau berbagai saat kita mendapat nikmat juga luas.

Diawali dengan bertahmid dan bersyukur kepada Allah, kita disunnahkan untuk memberitahu orang-orang yang dekat dan kita cintai. Jika memungkinkan maka percikan nikmat tersebut juga bisa bermanfaat bagi orang lain. Jika nikmat itu adalah harta maka bersyukurlah dengan zakat dan shadaqah. Jika nikmat itu adalah ilmu maka bersyukurlah dengan mengamalkan dan mengajarkannya. Tapi, menyebut-nyebut nikmat secara berlebihan akan mengundang rasa iri dan dengki, maka sebaiknya hal tersebut dilakukan dengan wajar.

Baca :   Tak Miliki Dana Untuk Resepsi Pernikahan, Pengantin Pria Hanya Gunakan Baju Kaos

“Barangsiapa yang diberi kenikmatan (pemberian), kemudian dia menyebutnya, sungguh ia telah bersyukur. Dan jika ia menyembunyikannya, sungguh ia telah mengingkarinya”.

Rasulullah menegaskan salah satu tanda bersyukur adalah menyebut nikmat yang telah diberi. Sebagaimana tercantum dalam Sunan Abu Daud Juz 4 Hal. 256 dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu anhuma , beliau berkata :

عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ قَالَ: ((مَنْ أُبْلِيَ بَلاَءً فَذَكَرَهُ فَقَدْ شَكَرَهُ، وَإِنْ كَتَمَهُ فَقَدْ كَفَرَهُ.

Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, bahwa apa yang telah diberikan oleh Allah berupa nikmat, kemuliaan dan kenabian, hendaklah engkau menyebut-nyebutnya dan ceritakanlah kepada orang lain dan serulah (mereka) kepadanya. Tatkala Rasulullah Saw. menceritakan karunia kenabian yang telah diterimanya kepada orang-orang yang telah beliau percayai dari kalangan keluarganya secara diam-diam. Lalu diperintahkan Allah ibadah salat kepadanya, maka beliau mengerjakannya.

Perintah Shalat justru tanda membuka agar nikmat tampak terlihat. Tak hanya diceritakan disekitar tapi disyi’arkan terang lewat kewajiban shalat. Demikian dipaparkan dalam tafsir Ibnu Katsir.

Dalam Kitab Al Hikam Imam Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary berkata :

مَتىَ اَعْطاَكَ اَشْهَدَكَ بِرَّهُ وَمتىَ مَنَعَكَ اَشْهَدَكَ قَهْرَهُ فَهُوَ فىِ كُلِّ ذٰلكَ مُتَعَرِّفٌ اِليكَ وَمُقَبِّلٌ لِوُجوُدِ لُطْفِهِ عليْكَ

“Apabila Allah memberi karunia kepadamu, maka Ia akan menunjukkan kepadamu karunia belas kasih-Nya. Dan apabila Allah menolak pemberian-Nya kepadamu, maka Ia akan menunjukkan kepadamu kekuasaanNya, maka semua itu memperkenalkan diri kepadamu, dan mehadapkan kepadamu dengan kehalusan pemberian pemeliharaanNya kepadamu”.

Bersyukur atas nikmat dengan menyebut dan menyampaikan luas kebaikan-Nya adalah kemestian, karena nikmat anugerah dari Yang Kuasa. Menyebut itu tanda bersyukur bukan kufur, asal beriring dengan akhlak mulia. Jika menyebut-nyebut berpolah sombong lagi tinggi hati, akan mengundang mendatangkan bahaya fitnah dari dengki tak merasai nikmat seperti. Jangan sebut apalagi umbar nikmat terlampau lebih, karena bersebab angkuh diri lalu dibenci pendengki. Yang Maha Kuasa tentu tak salah, justru kita lah yang “ghaflah”. Ceritakan nikmat sewajarnya dan diamkan nikmat sewajarnya juga.

telegram : Roni Haldi, Lc https://t.me/roni_haldi

Blangpidie, 09 April 2019

Lihat Juga

Tentang Roni Haldi

Tinggalkan Balasan